Kursus literasi kader untuk mendorong kader hingga di tingkat desa menciptakan pengetahuan lokalnya. Mempersenjatai warga dengan literasi tidak sekadar membangunkan mereka perpustakaan, melainkan berdaya secara informasi.
Diana AV Sasa Pegiat Literasi dan Anggota DPRD Jawa Timur 2019—2024
PARTAI Demokrasi Indonesia Perjuangan yang bulan ini berusia dua dekade lebih satu tahun pada 10 Januari lahir dari mega-mega hitam demokrasi dalam cakrawala “demokrasi Pancasila” yang diusung Soeharto.
Pengucilan dan pengerdilan atas segala hal yang berkaitan dengan frase “Soekarno” dialami pemimpin dan kader-kadernya.
Partai yang dinakhodai Megawati Soekarnoputri ini, walau secara administratif berdiri pada 1999, sesungguhnya garis politik perjuangannya mengikuti bagaimana keluarga Soekarno keluar dari pingitan politik setelah periode kelam pada 1965-1970.
Ayunan bandul politik yang memukul sebegitu keras dari kiri dan kanan, muka dan belakang, membuat para pengusungnya menjadi sangat liat dan kuat.
Bu Mega dan kader-kader pengikut berdekade-dekade diuji lewat berbagai cara untuk tidak muncul sebagai tokoh politik nasional. Jangankan menjadi tokoh nasional, menempuh pendidikan tinggi saja dihalang-halangi dengan segala macam cara.
Lantaran tumbuh dari bawah, dari grass root, segala yang menyumbat kembalinya trah Soekarno di gelanggang politik nasional tidak bisa dihalangi. Akar yang kuat menjadi modal utama dari badai disrupsi informasi.
Sebagaimana garis jalan partainya, seperti itu juga garis hidup pendirinya. Cerminan sejarah PDI Perjuangan adalah biografi Ibu Megawati Soekarnoputri yang tumbuh bersama jalan berbahaya yang dilalui Republik muda.
“Zaman itu saya lahir di Yogya semasa Clash I, Clash II, keadaannya tidak normal kan?”kata Ibu Mega dalam wawancara untuk buku Megawati Anak Putra Sang Fajar (2012: 100).
Dipukul, jatuh. Namun, berdiri lagi. Difitnah, oleng. Bisa mentas lagi.
Jatuh lagi. Bangun lagi. Jatuh-bangun mengikuti sejarah besar perpolitikan Indonesia membuat pemimpin dan pengusung garis ideologi partai nasionalis terkuat saat ini sampai kepada pelabuhan besar yang menjadi tujuan akhirnya: Indonesia yang Berdikari.
Lumbung informasi
Salah satu yang membikin pamor Bu Mega dan partai ini mengembang dan mengempes dan mengembang lagi adalah solidaritas juang dalam melawan disrupsi informasi yang mendiskreditkan mereka.
Sebagaimana rumput yang akarnya saling mengikat, diinjak dan disirami panas tidak bisa mati. Kering dan kerdil mungkin, tetapi tetap bisa hidup dan adaptif sambil menanti datangnya air.
Kehilangan akses informasi nasional dan ketaktersediaan mimbar bicara kader-kadernya di semua media justru menyolidkan kader ke dalam. Komunikasi tradisional dalam kursus kader diambil sebagai pendidikan nyata yang bisa menghalau disinformasi dan presentasi media.
Kita tahu, salah satu ekor dari disrupsi informasi adalah masifnya persebaran kabar bohong. Tentu saja, ini tidak bisa kita kutuk sebagai dampak dari masifnya media sosial. Sebab, persebaran kabar bohong sudah berlangsung jauh sebelumnya dengan memakai medium-medium yang kita anggap tradisional. Bu Mega dan partai demokrasi ini tahu betul segala model terjangan disinformasi itu.
Istilah “surat kaleng” adalah salah satu bentuk pemelintiran informasi dengan niat jahat membuat kekacauan informasi. Tujuan akhir dari konsumsi desas-desus itu adalah guncangnya kepercayaan satu dan lainnya.
Yang menderita dari disrupsi itu jika tidak bisa dibuatkan perisai yang tepat adalah warga negara. Lebih spesifik lagi, warga partai.
Semestinya, berkaca dan berefleksi dari sejarah yang teramat pahit sebagai korban besar dari kabar bohong yang diorganisasi, partai bisa memberi perlindungan informasi atas daya tahan informasi warganya sendiri.
Kursus literasi
Setidaknya tiga hal ini bisa dilakukan agar kader memiliki perisai informasi. Pertama, ketersediaan lumbung informasi. Istilah lumbung berasal dari perikehidupan kaum marhaen untuk berjaga-jaga dari musim yang tidak terduga. Lumbung bukan sekadar wadah penyimpanan, tetapi juga siasat antisipatif dari ketakpastian musim panen.
Lumbung informasi adalah benteng pertahanan bagaimana menyimpan dan mengolah informasi yang sehat. Lumbung itu bisa berbentuk perpustakaan atau koperasi informasi di mana partai menginvestasikan dan menjamin ketersediaan bahan-bahan bacaan yang bermutu dan penguatan pengetahuan politik lewat buku.
Agar ajaran-ajaran Soekarno tetap hidup apinya, misal, Partai menyediakan buku-buku Soekarno. Praktik ini pernah dilakukan leluhur PDIP bernama PNI dengan memproduksi brosur-brosur ajaran Soekarno dalam bentuk-bentuk buku yang kecil dan tipis. Di setiap desa, lewat siasat lumbung informasi, tersedia sangat lengkap semua buku yang berisi pikiran-pikiran Soekarno
Kedua, literasi digital. Jika lumbung informasi adalah wadah, spiritnya adalah gerakan literasi digital. Muatan pendidikan kader mengikuti arus zaman dengan berbasis internet. Di lingkup inilah diperkenalkan bagaimana dunia internet bekerja.
Internet adalah inovasi dunia yang mengubah pengetahuan tersebar lebih cepat. Media sosial, situsweb, video, blog, dan seterusnya adalah produk-produk hilir yang menumpang dalam armada besar internet.
Literasi digital adalah kemampuan menggunakan internet secara bijak dan sehat. Rasa-rasanya, istilah internet sehat ini tergulung habis oleh istilah hoaks yang selalu kita dengungkan. Hoaks adalah ekses negatif dari pemanfaatan internet, sementara internet sehat adalah ekses positif dari hadirnya internet dalam lembar kehidupan kita.
Kita apresiasi usaha-usaha kementerian perdesaan yang bekerja keras menghidupkan situsweb desa sekaligus dengan praktik jurnalisme warga. Itu modal besar dan sekaligus jalan baru yang mesti didukung.
Ketiga, kursus literasi kader untuk mendorong kader hingga di tingkat desa menciptakan pengetahuan lokalnya. Mempersenjatai warga dengan literasi tidak sekadar membangunkan mereka perpustakaan, melainkan berdaya secara informasi.
Kemampuan membangunkan pengetahuan lokal adalah tujuan utama dari kursus literasi ini. Usaha ini ikhtiar membangunkan potensi pengetahuan desa yang tertidur. Kursus ini menambang permata kebijaksanaan yang datang dari desa sehingga yang muncul bukan semata korupsi kepala desa, melainkan ahli-ahli organis yang pengetahuannya sepenarian dengan nafas komunitas di mana ia hidup.
Tentu saja, semua itu membutuhkan sebuah investasi besar dan sekaligus pengajaran bagaimana sebuah partai bertanggung jawab penuh mempersenjatai kader-kadernya hingga tingkat terbawah dengan literasi berbasis informasi sehat.
Dengan demikian, pengetahuan politik yang tumbuh bukan pengetahuan dari remah-remah gulma yang mengelabui, melainkan pari atau padi politik agar mereka bisa mandiri dan mengelola kehidupannya menjadi lebih baik.
Selain menjaga dan memperkuat pondasi partai, juga sekaligus pondasi mengapa kita memperkuat negara kesatuan dan menghidupkan api kebhinekaan bangsa kita.***
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS