Pada mulanya adalah sebuah ambisi. Tahun 1696, Adrian Van Ommen, seorang Gubernur Belanda yang sedang bertugas di Malabar, India, mengirimkan bibit-bibit kopi jenis arabika melalui kapal uap kepada Gubernur Belanda lain yang bertugas di Batavia untuk dibudidayakan. Pengiriman itu atas perintah Walikota Amsterdam, Nicholas Witsen.
Saat itu tradisi minum kopi menyebar bagai lumut di tanah lembab. Kopi menjadi salah satu minuman yang paling digemari dan dicari di dunia. Meski identik dengan rasa pahit, kopi jadi minuman yang paling banyak dikonsumsi setelah air. Jadi candu bagi kebanyakan orang.
“Aku melihat uang dari pekat kopi,” kata Witsen berseloroh. Sebenarnya Negeri Kincir Angin itu telah mencoba membudidayakan tumbuhan yang merupakan subfamili Ixoroideae tersebut. Namun negeri beriklim empat musim tampaknya tak cocok untuk tumbuhan dengan nama genus coffea itu. Tumbuhan itu terkapar bahkan sebelum sempat berkembang. Maka, diputuskan untuk mengembangkannya di negeri-negeri jajahan.
Ommen bergerak cepat. Mengumpulkan bibit-bibit terbaik dan lekas mengirimkannya. Perintah Amsterdam adalah titah yang tak pernah bisa ditolak. Gubernur Jenderal di negeri jajahan adalah kepanjangan tangan VOC. Dan VOC, kita tahu, adalah organisasi dagang yang isinya para pebisnis yang menguasai tanah jajahan dengan semangat Adam Smith; modal sekecil-kecilnya untuk laba sebesar-besarnya. Mereka membelit dan menelan segalanya dengan kerakusan segerombolan piton lapar, tanpa peduli berapa liter darah yang tumpah dan berapa juta tubuh ditutup kapas pada sepasang lubang hidungnya karena perang dan kerja paksa.
Setibanya bibit-bibit tersebut, Gubenur Jenderal Batavia itu, Joan van Hoorn, yang kebetulan menantu Ommen, bergegas mencari lokasi. Setelah beberapa kali survei diputuskan penanaman dilakukan di sepanjang bantaran Ciliwung mulai dari Kampung Melayu hingga Jatinegara. Berhektar-hektar lahan dipermak. Ribuan tenaga kerja dikerahkan demi ambisi laba dan akumulasi kapital. Namun sial tak dapat dihela. Tanaman tersebut hancur dilanda banjir dan gempa.
Seakan tak mau menyerah, pada 1699 Adrian Van Ommen kembali mengirimkan bibit. Kali ini berupa stek kopi. 8 tahun berselang, panen datang. Pada 1706 hasil tanaman kopi pertama di Pulau Jawa dikirim ke Kebun Raya Amsterdam untuk diteliti. Hasilnya mengejutkan. Kopi tersebut memiliki kualitas sangat baik dan berpotensi untuk diperdagangkan ke seluruh dunia.
Maka Belanda memutuskan untuk melebarkan perkebunan kopi ke berbagai daerah lain di nusantara. Tak hanya Jawa, perkebunan kopi dibuka di Aceh, Sumatera Utara, beberapa daerah di Sulawesi, Bali hingga Papua.
Dan seloroh Witsen menjadi kenyataan. Panen perdana melimpah. Pada 1711, Bupati Cianjur, Raden Aria Wira Tanu III, mengapalkan sekitar 4 kuintal kopi ke Amsterdam, dan ekspor kopi perdana tersebut memecahkan rekor harga lelang di sana. Angka laba perdagangan tanpa diduga melampaui prediksi. Pada tahun 1726, tidak kurang dari 2.145 ton kopi yang berasal dari pulau Jawa mengepung eropa. Penjualan biji kopi dari Hindia Belanda (Indonesia) meledak hingga menggeser ekspor dari Mocha, Yaman, yang awalnya berada di puncak pasar. Biji kopi Hindia Belanda merambah menguasai perdagangan kopi di negara-negara Eropa. Keberhasilan itu membuat pulau Jawa menjadi pusat produksi kopi dunia. Dan Belanda mulai memonopoli pasar kopi. Saking populernya Jawa sebagai pusat kopi dunia kemudian muncul istilah populer cup of java. Secangkir kopi adalah secangkir Jawa.
Namun harga untuk pencapaian itu tidaklah murah. Terutama untuk rakyat. Mereka bukan saja dipaksa menanam kopi, tetapi juga mengantar hasil panennya ke gudang-gudang VOC dan menerima berapa pun harga yang ditentukan oleh VOC Seorang pemilk kebun kopi swasta mengatakan bahwa ketika panen, semua orang dikerahkan untuk memetik panen kopi. Perempuan, anak-anak bahkan orang lanjut usia dikerahkan untuk memetik hasil panen. Mereka juga dipaksa untuk membangun jalan,membangun gedung dan kerja paksa lainnya atas perintah VOC demi kelancaran jalur distribusi.
Meski akhirnya VOC terjerumus pada jurang kebangkrutan pada 1799 karena digerogoti korupsi, nasib petani kopi tidak berubah. Pada tahun 1800 pemerintah kolonial Hindia Belanda malah memerintahkan setiap keluarga wajib menanam 250 pohon kopi. Angka ini bahkan dinaikkan menjadi 500 pohon kopi pada 1802. Akibatnya, banyak petani yang memilih meninggalkan kampung mereka agar terhindar dari tanam paksa kopi.
Ketika Dandels menggantikan Horn, seturut laporan Muhammad Taufiqurohman, dalam buku Kopi: Aroma, Rasa, Cerita (2018), Daendels segera mengubah kebijakan distribusi. Para Bupati yang mulanya mendapatkan upeti dari sistem bagi hasil panen, diganti dengan sistem persentase. Sedangkankan hasil panen yang mulanya dikirim ke gudang-gudang VOC, kini diserahkan kepada bupati. Berkat perubahan ini hasil produksi kopi meningkat tajam. Pada 1810, panen kopi menghasilkan 120 ribu pikul. Dandels juga memperbaiki berbagai infrastruktur yang berhubungan dengan distribusi hasil perkebunan seperti jalan, jembatan, dan jalur kereta api dengan menjanjikan bayaran untuk rakyat. Tapi janji tinggal janji. Mulut penguasa hanya lamis belaka. Tak ada bayaran. Yang ada siksa dan nasib bagai tubuh mati suri.
Derita itu tampaknya terus berlanjut hingga Belanda pergi, Jepang datang, dan Indonesia memproklammasikan kemerdekaannya dan menasionalisasi perkebunan kopi. Padahal tak ada petani, tak ada secangkir kopi tersaji. Petani adalah kunci.
Faktanya, pasar kopi dunia pernah panik. Pada 1878, hama penyakit karat daun (Hemileia vastatrix – HV) menyerbu hampir sebagian besar area perkebunan kopi. Jamur itu menggerus daun kopi seperti ampelas besi. Daun rontok. Pohon mati. Pada masa itu Jawa kehilangan potensi untuk mengirimkan kopi ke luar negeri hingga 120.000 ton. Namun bukan hama benar yang merusak kopi. Membuat gamang pasar kopi dunia. Melainkan revolusi buruh perkebunan kopi yang sengaja menebang seluruh pohon kopi di Jawa pada khususnya dan di seluruh Indonesia pada umumnya sebagai bentuk pemberontakan pada kolonialisme yang kelewat keji.
***
Pasca merdeka mestinya pemerintah mewarisi apa yang pernah dirintis Belanda hingga membuat kopi berada di puncak pasar kopi dunia. Tapi tampaknya tidak ada yang dipelajari dari Pemerintah Hindia Belanda soal kopi, kecuali bagaimana mengisap isi tulang sumsum petani. Dan membiarkan petani kopi tetap jadi paria.
Ini bisa dilihat, misalnya, dari maraknya agen-agen ekportir kopi bicara tentang kemasyuran kopi arabika Nusantara, terutama daerah Sumatera, dengan semangat romantisme masa kolonial tapi dengan watak inferior warga jajahan sembari menyeruput long black di Starbuks.
Hasilnya seperti laporan The Jakarta Post, pada Februari 2005 silam tentang kopi luwak. Laporan tersebut menyebutkan, bahwa kopi luwak adalah kopi termahal di dunia. Biji kopi yang dipungut dari tinja (feaces) luwak itu harganya bisa mencapai US$250 per kilo (unroasted) dan US$600 per kilo (roasted). Dan harga per cangkirnya US$85. Nyaris satu juta rupiah. Mengalahkan harga kopi jenis manapun. Kopi kelas internasional ini hanya ada di Sumatera, tetapi dimiliki Daarhnour dari Belanda, yang mendistribusikannya terutama ke Amerika Serikat, dengan M.P. Mountanos Inc., di Los Angeles sebagai pelanggan terbesar (Ajidarma, 2005). Dan kita tak pernah ada di sana.
Nasib kopi Siporok juga tak jauh beda. Gagasan untuk ekspor kopi Arabika Siporok pernah mengemuka. Dibicarakan begitu serius dengan sedikit perang ludah sehingga lahir berbagai program kerja turunan dengan perhitungan matematika yang siapa saja yang tergiur angka-angka akumulasi labanya pasti segera mencelat biji matanya. Kesimpulan dari ‘kerja besar’ itu bahwa program kerja itu harus dijalankan semua pelaku kopi Arabika dari hulu ke hilir jika ingin menaikkan marwah petani. Sayangnya, hingga hari ini, demikian catatan Budi P Hutasurut, berjudul “Ekspor Kopi Siporok dan Nonsens Kebijakan” yang diunggah di laman fesbuknya pada 30 Juni 2021, belum ada tercatat ekspor kopi Arabika atas nama kopi Arabika Siporok.
Benar memang, ekspor kopi atas Sumatera Utara volumenya paling besar di Indonesia di bandingkan daerah lain. Namun, usut punya usut, lanjut peneliti dan mantan wartawan Lampung Post yang juga pengarang dengan nama pena Budi P Hatees itu, sebagian besar kopi Arabika yang diekspor ternyata bukan berasal dari Sumatera Utara melainkan dari daerah lain di luar Sumatera Utara. Dan ekspor yang mestinya menjadi asa bagi derap kaki tegap nasib petani, terutama di kawasan sentra produksi, nyatanya jadi upper cut yang kembali membuat terhuyung.
Iming-iming laba hasil eskpor sempat membuat petani sedikit punya nyawa. Mereka kemudian berlomba-lomba menanam kopi, memperluas area tanam. Semangat itu bahkan membuat para eskportir memberi bantuan sarana produksi. Namun begitu panen tiba, harga tetap terpuruk meski media memberitahan ada kenaikan harga komoditas kopi dunia. Kisah-kisah sukses berbisnis kopi digemakan bagai suara toa saat pawai pembangunan membuat coffee shop bermunculan. Sementara nasib petani selungkai kering pelepah pisang. Begitu terus komedi putar itu terjadi. Lagi. Dan lagi. Sebenarnya tak kurang-kurang kita punya warung-warung kopi pinggir jalan dan pengadon kopi yang piawai meski cangkir kopinya tidak eksotik (mungkin hanya gambar ayam atau merk bumbu masak) yang biji kopi dagangan mereka dibeli langsung dari petani. Dan mestinya mampu jadi oksigen bagi napas terakhir petani. Tapi sialnya, kebanyakan kita, berkat kibul perdagangan dunia dan kibul konsumerisme yang tanpa henti mengabarkan gaya hidup dan trendi, baru sudi meminum kopi buatan sendiri meski harganya empat lima kali lipat harga kopi tubruk di desa, jika bubuk atau biji-biji kopinya keluar dari kemasan Amerika. Diimpor dari Eropa. Oh, betapa…
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS