JAKARTA – Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, MH Said Abdullah, mengatakan, kinerja ekspor pemerintah pada 2023 mendapatkan berkah dari kenaikan berbagai harga komoditas ekspor.
Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia pada Januari sampai Desember 2022 mencapai 291,98 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau naik 26,07 persen dibandingkan pada 2021.
“Moncernya kinerja ekspor meneguhkan posisi neraca perdagangan Indonesia yang surplus 33 bulan bila dihitung hingga Januari 2023,” ujar Said, Rabu (15/2/2023).
Ketua Bidang Ekonomi DPP PDI Perjuangan itu menjelaskan, selain itu, neraca perdagangan Indonesia pada 2022, juga mencatatkan surplus tertinggi dalam sejarah, yakni sebesar 54,46 miliar dollar AS dan pada Januari 2023 masih surplus 3,87 miliar dollar AS.
Menurutnya, surplus perdagangan internasional tersebut seharusnya menyumbang devisa yang dicatatkan Bank Indonesia (BI). Posisi cadangan devisi (cadev) pada Desember 2022 mencapai 137,2 miliar dollar AS. Bila dibandingkan pada Januari 2022, cadev sedikit meningkat 2,2 miliar dollar AS ke posisi 139,4 miliar dollar AS.
Merujuk data cadev dan surplus neraca perdagangan, Said melihat posisi cadev tampak lebih rendah dengan yang didapat dari neraca perdagangan.
“Padahal, kalau kita tambahkan besaran penarikan pembiayaan baik dari surat berharga negara (SBN) maupun pinjaman luar negeri, harusnya posisi cadev lebih lebih besar dari nilai surplus neraca perdagangan,” ujarnya.
Said menyebutkan, situasi itu menggambarkan surplus neraca perdagangan tidak menjelma menjadi kue ekonomi yang nyata di dalam negeri.
“Kita alami keadaan seperti ini berulang kali,” imbuhnya.
Padahal, sejak 10 Januari 2019, pemerintah telah memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam (SDA).
BI juga telah menyempurnakan Peraturan BI sebelumnya tentang DHE melalui PBI Nomor 24/18/PBI/2022 tentang DHE dan Devisa Pembayaran Impor.
Kedua peraturan di atas mewajibkan pelaku ekspor SDA yang menerima DHE untuk menempatkan dananya ke rekening khusus (reksus) paling lambat akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran pemberitahuan pabean ekspor.
Para eksportir juga diwajibkan memindahkan escrow account jika terlanjur membuat escrow account di luar negeri dengan tenggat waktu paling lama 90 hari sejak 10 Januari 2019.
Said menilai, kedua peraturan tersebut belum berjalan efektif. Dia pun memaparkan tiga hal penting yang perlu dicermati pemerintah.
Pertama, pengaturan terkait DHE SDA tidak cukup hanya dicatatkan. Penggunaannya perlu diawasi untuk kebutuhan transaksi perdagangan internasional. Apalagi, tambah Said, BI menilai hal itu tidak dikategorikan sebagai dana pihak ketiga (DPK) yang menjadi acuan penghitung kewajiban bank dalam memenuhi giro wajib minimum (GWM) dan lainnya.
“Jika pengaturannya hanya seperti ini, maka ekonomi dalam negeri tidak mendapatkan manfaat optimal atas penempatan DHE di perbankan nasional, selain penerimaan perpajakan atas bunga DHE di reksus,” ujarnya.
Said juga mengimbau, BI tidak meletakkan DHE SDA sebagai “lahan parkir” istimewa yang tidak memberi manfaat banyak bagi keuangan domestik. Hal ini dilakukan agar DHE SDA mempunyai manfaat finansial dan tanggung jawab perbankan lebih mengikat.
“Sebaiknya, DHE SDA yang berada di reksus dihitung sebagai acuan untuk menilai GWM dan rasio intermediasi prudensial dari bank penerima,” katanya.
Kedua, pembayaran yang diterima eksportir dalam bentuk DHE seharusnya dicatatkan sebagai pendapatan usaha, atau utang usaha jika mendapatkan pinjaman luar negeri oleh perusahaan eksportir.
“Meskipun tidak semua, setidaknya ada peluang besar bagi pemerintah dan BI untuk mendorong DHE SDA menjadi alternatif sumber investasi dalam negeri, terutama terhadap sektor-sektor prioritas yang menjadi perhatian pemerintah,” terangnya.
Ia menyebutkan, jika pemerintah bisa memberikan penawaran yang menarik, khususnya peluang investasi baru yang menjanjikan imbal hasil sesuai, pemilik DHE SDA tentunya akan tertarik untuk terlibat dalam penawaran.
“Oleh sebab itu, pemerintah sebaiknya membuka menu investasi yang menarik buat mereka, seperti halnya pemerintah membuat penawaran pada skema repatriasi modal saat Tax Amnesty beberapa waktu lalu,” ungkapnya.
Ketiga, pemerintah ke depan juga perlu mengatur lebih lanjut DHE non-SDA, seperti halnya pemerintah mengatur DHE SDA.
“Memang benar hasil DHE non-SDA tidak sebesar SDA. Ke depan bisa jadi hasil DHE non-SDA ini bisa melampaui DHE dari SDA, mengingat tidak semua hasil SDA bisa diperbarui,” sebutnya.
Pada tujuh tahun terakhir, remitansi tenaga kerja Indonesia (TKI) per tahun mencapai minimal 8,69 miliar dollar AS. Capaian tertinggi kiriman remitansi TKI pada 2019, yakni mencapai 11,44 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 160 triliun.
“Devisa yang dihasilkan TKI akan semakin besar sumbangsihnya bila TKI bisa merambah ke sektor-sektor yang skillfull dan high tech. Sektor ini perlu pikirkan oleh pemerintah,” ujarnya.
Said mengatakan, banyak devisa dari TKI selama ini tertelan untuk kebutuhan konsumsi. Untuk itu, pemerintah perlu mengorkestrasi melalui berbagai perkumpulan TKI.
Perkumpulan tersebut diharapkan masuk melakukan investasi pada sektor-sektor produktif yang menjanjikan dengan imbal hasil yang logis, legal, dan berkelanjutan. Langkah ini diharapkan menguntungkan semua pihak.
“Selain TKI, dunia digital dan sektor kreatif akan menjadi prospek masa depan devisa Indonesia,” ungkapnya.
Menurutnya, meski bukan yang terdepan, sektor jasa teknologi informasi dalam bentuk web design, animasi, hingga desain grafis dari Indonesia banyak diminati oleh perusahaan-perusahaan internasional.
“Kekayaan kreatif kita juga belum optimal digarap untuk menghasilkan devisa. Tumpuan kita selama ini masih pada sektor pariwisata,” jelasnya.
Padahal, kata Said, kekayaan seni, arsitektural, serta intelektual Indonesia sangat menjanjikan dan berpotensi menghasilkan banyak devisa. (set)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS