Sejak orde baru berkuasa, hampir tidak pernah kita mendengar analisis filsafat pendidikan dari isi kepala rezimnya. Secara totaliterian, pendidikan hanya dirumuskan dalam idiom-idiom teknoratik, birokratis, dan indoktrinatif. Kemerdekaan yang menjadi bagian dari gerakan pendidikan lebih sering terpisah dari rakyat kecil (wong cilik). Padahal, kemerdekaan erat sekali dengan urat nasi edukasi. Itulah sebabnya, kemerdekaan bukan milik penguasa, pejabat, atau orang-orang kaya saja. Kita semua ditakdirkan merdeka. Pendidikan adalah jalan penuntunnya. Apakah program merdeka belajar benar-benar memerdekaan pendidikan kita hari ini?
Filsafat pendidikan kita selama ini nyaris tak pernah berubah. Memang, kebijakan pendidikan berubah-ubah. Tetapi, filsafat pendidikan yang diterapkan masih terasa jauh dari filsafat kemanusiaan. Pertama, standar kesuksesan belajar bukan berasal dari otonomi kesadaran. Seseorang disebut sadar belajar, jika dirinya mampu memaknai dunia kehidupan manusia. Apakah lembaga pendidikan berhasil menetaskan manusia sadar akan etika kehidupan? Rasanya, tidak semua demikian. Di saat bangsa ini diterjang pandemi, bantuan kerakyatan dikorupsi gerombolan tikus berdasi. Kebijakan pandemi pun berganti-ganti. Rakyat susah memahami. Ini hanya sekilas contoh saja. Contoh lainnya cepat menguap di udara, tertimpa kepentingan oportunisme penguasa.
Barnes (1983) menyebutnya gejala bangsa menuju ke arah kebohongan. Kebohongan bukan berarti lenyapnya kejujuran. Bohong berarti upaya menutupi kenyataan hidup sehari-hari yang kita jumpai melalui pengalihan kepalsuan agar terlihat benar. Seperti gigi-gigi palsu yang dipakai orang tua ompong agar dia terlihat muda dan segar bugar. Standar otonomi kesadaran yang sering kita pelajari barangkali sesuai dengan filsafat kebohongan ini. Semua tampak benar, nyata, dan indah hanya dalam susunan mata pelajaran. Mereka yang diuji dan mampu menjawab sesuai standar kurikulum pelajaran dianggap memahami bahan ajar. Meskipun konsep memahami ini bukan mencerna dan menjadi laku hidup sehari-hari. Melainkan, paham dalam arti rememorisasi materi dan memuaskan keinginan para penguji.
Kedua, sistem birokrasi pendidikan telah menciptakan banyak musuh pendidikan. Selama ini, kemerdekaan dalam pendidikan sulit tercapai karena birokratisisme yang mencekam. Menurut Aron (1966) sejarah peperangan di dunia saat ini bukan soal adu persenjataan, melainkan sistem birokrasi. Birokrasi sebagai sistem masyarakat seharusnya heterogen, fleksibel. Prinsip sistem tak pernah tunggal, saling terhubung antarsistem lainnya. Karena itulah, birokrasi tak bisa mengukuhkan dirinya sebagai penentu kemajuan. Ia harus saling beririsan dengan sistem budaya, ekonomi, dan budaya dari masyarakat yang beragam.
Namun, negara yang pernah menjalankan sistem totaliterian cenderung memakai birokrasi sebagai penghalang tumbuhnya potensi manusia. Karena, di dalamnya terpelihara sistem parasitisme yang menundukkan keberagaman gagasan, perbedaan keyakinan, dan kritik sosial. Maka, tak heran sebanyak apa pun kebijakan pendidikan berganti, selalu diikuti oleh panjangnya legalisasi administrasi. Masalahnya, atmosfer pendidikan, intelektualitas, dan kebebasan akademik sebagai jati diri kampus sering berkontradiksi dengannya.
Maka, terjadilah perang ideologis antara kubu para penggila jabatan dan penjaga moral. Kubu pertama menganggap birokrasi seakan berjalan absolut. Logika dasarnya, “kamu harus”. Kubu kedua sebaliknya. Sistem birokrasi hanyalah produk manusia karenanya harus manusiawi. Logika dasarnya, “seharusnya kamu tak begitu!”. Kondisi ini membuat dunia pendidikan bagaikan arena pertandingan yang saling mengalahkan. Tak heran, program merdeka belajar sarat paksaan demi memuaskan sistem industrial. Sementara, kaum intelektual humanis menentangnya. Baginya, program ini mengabaikan karakter pendidikan, akal sehat, dan sistem demokrasi sebagai anak zaman pasca fasisme Orde Baru.
Ketiga, metodologi pendidikan yang menonjolkan pedagogi kemalasan para elit. Ketika bangsa semakin menghamba pada kapitalisme total, maka kualitas pendidikan cenderung dilihat dari fakta sosial. Lafargue (1907) menegaskan hilangnya hak manusia sebagai hamba Tuhan ketika mengabaikan data kualitas manusia. Hal ini disebabkan tujuan akhir pendidikan dirumuskan berbasis pencacahan angka-angka. Sehingga, kita sering melihat dan mendengar elit politik atau pejabat negara sangat fasih berpidato dengan kutipan statistika.
Inilah barangkali cerminan pedagogi kemalasan kelas berkuasa. Inilah teror fakta sosial. Praktik pedagogi kemalasan ini tampaknya sering terjadi sejak rezim orde baru berkuasa. Budaya blusukan (turun ke bawah) pada masa itu hanya formalitas politik. Bukan sebagai upaya mendengar dan menyentuh aspirasi dari suara hati ‘yang lain’ (the others). Jadi, jangan harap ada pembagian sepeda di masa itu ketika berjumpa dengan Presidennya, kecuali pengenalan bahasa ‘gebuk-menggebuk’.
Sebab itu, sangat diperlukan pedagogi yang santai sebagai budaya tandingnya. Menurut Gildersleeve (2020), kesantaian bukanlah rendahnya semangat kerja. Melainkan, tindakan resistensi terhadap pembatasan kehidupan yang diperbudak oleh kerja mekanis kapitalisme. Dengan kata lain, kesantaian adalah upaya menciptakan sebanyak mungkin waktu luang. Agar, setiap orang bisa belajar merenungi tujuan hidupnya. Kepada siapa harus memohon berkah hidup. Dan, hendak kemanakah setelah mereka tidak lagi hidup. Pedagogi yang santai seperti ini sulit dipahami, dihayati, dan menjadi laku hidup jika dunia keseharian kita selalu dijejali dengan rutinitas berburu materi.
Karena itu, orang-orang kaya dalam konsep pedagogi yang santai bukanlah yang punya segala kemewahan. Melainkan, mereka yang memiliki mentalitas ekspansif. Yakni, memproteksi orang lain dari sistem kerja masyarakat kapitalisme yang sarat eksploitasi dan alienasi. Dalam idiom kebahasaan orang Indonesia, santai berbeda dengan malas. Santai dipadankan dengan ketenangan, menikmati proses, dan tidak mudah tergesa-gesa sebagai bentuk kehati-hatian. Sementara, malas berarti enggan melakukan apa pun atau hanya menunggu bala bantuan saja. Scott (2000) melalui hasil penelitiannya di masyarakat petani Malaysia sekaligus Indonesia menyebut moralitas kesantaian sebagai bentuk perlawanan terhadap pemilik modal agraris dan elite politik yang tidak peka dengan hidup ’wong cilik’.
Jika lembaga pendidikan formal ingin terus dipercaya sebagai penentu mutu kehidupan, maka pedagogi kesantaian harus mendapat ruang. Kesantaian dalam prinsip pedagogi ini bukanlah tindakan kelesuan, kendornya minat belajar, maupun mengisi waktu dengan kesia-siaan. Tetapi, menciptakan proses pendidikan menjadi menyenangkan dan penuh layanan birokrasi yang memanusiawikan. Itulah sebabnya, aktivitas mengajar, belajar, maupun penelitian semestinya berjalan layaknya tamasya atau waktu liburan.
Sebagaimana liburan, setiap orang bisa menikmati pemandangan yang hadir di ruang-ruang pendidikan. Tanpa merasa tertekan. Agar, dapat menikmati ketenangan suasana kemerdekaan. Tanpa tergesa-gesa karena merasa takut kehilangan kemerdekaan belajar. Karena, kurikulum belajar tidak selalu berada di ruang kelas. Kurikulum alamiah yang berada di lingkungan sekitar, baik alam, budaya, agama, sosial, hingga keluarga, merupakan sumber kemerdekaan untuk kita belajar kehidupan. Atas dasar ini, maka kita semua sejatinya adalah guru. Kita semua adalah murid. Semua aspek kehidupan merupakan sumber belajar. Semua sumber belajar selalu memberikan pengalaman dan pengetahuan yang memerdekakan. Lalu, tanyalah pada hatimu, kawan. (*)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS