Oleh: Martin Rachmanto*
SIAPA yang tak kenal Jember. Kabupaten yang sarat dengan sebutan. Kota Suwar-Suwir, Kota Seribu Gumuk, Kota Carnifal, Kota Pandhalungan. Entah kota apa lagi kelak. Cukup banyak sebutan untuk Jember, meskipun tidak serta merta mencerminkan keadaan sesungguhnya.
Jember, kota yang berpenduduk 2,7 juta jiwa. Luas wilayah lahan sekitar 3.293,34 km persegi. Hingga kini belum menunjukkan geliat perkembangan yang signifikan.
Wajah Kota Jember, masih begitu-begitu saja. Tak ada perubahan konkret dan berarti. Tidak memiliki potret diri sebagai kota yang berkarakter.
Dua dasa warsa terakhir dengan dua kepala daerah belum bisa menemukan formula yang tepat untuk membawa Jember melesat. Banyaknya pengaduan terhadap dugaan pelanggaran hukum pejabat. Tata kelola pelayanan publik tidak akurat. Penuh warna dan jauh untuk bisa dikatakan sebagai Jember hebat.
Apa sih persoalannya? Dilihat dari data Badan Pusat Statistik tahun 2023, besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mencapai Rp 95,29 trilliun. Strategis sebagai dukungan finansial. Apalagi ditopang dengan beragam potensi pendapatan yang terus berkembang. Tak cukup alasan menjadi daerah stagnan.
Jika dibandingkan dengan daerah lain, tidak berlebihan jika Kabupaten Jember merupakan kota terpelajar. Tempat mangkal para cendekiawan. Bercokol beragam kompetensi dan lahan tumbuh kembangnya pakar branding.
Namun faktanya, keberadaan perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) belum cukup melegitimasi asupan positif untuk mengubah wajah Jember. Potret kemiskinan membuat siapapun mengelus dada, ditopang statistika pengangguran yang menyesakkan dada.
Tidak mudah menjawab mencari musabab. Dalam tataran jawaban dangkal, mungkinkah atas dasar banyak faktor pendukung di atas justru untuk membangun dan mengubah wajah Kota Jember sebatas dahsyat hanya pada tataran konsep saja? Namun terbentur hambatan dan tak mampu diaktualisasikan pada praktik kerja yang nyata. Sehingga semua tak lebih menjadi mimpi belaka ?
Ataukah Jember sudah tidak bisa lagi menjadi bumi bagi nilai-nilai Pancasila? Dalam tataran inilah, urgensi Pancasila digunakan untuk menerjemahkan pembangunan yang adil dan merata. Seperti yang disampaikan the founding fathers Indonesia, Ir. Soekarno.
Pembangunan perekonomian tidak selalu bergantung pada sumberdaya alam yang ada. Tetapi upaya meningkatkan sumber daya manusia adalah kebutuhan yang tak bisa dihindari. Kemampuan up grade terhadap diri sendiri menjadi penting agar tidak ketergantungan pada budaya Barat yang saat ini semakin tak terbendung penyebarannya. Mendesak, agar kita memiliki ketahanan budaya guna merawat budaya sendiri secara mandiri dan berdikari sekaligus melakukan filterisasi terhadap gempuran budaya luar.
Generasi milenial dan Gen-Z yang gandrung terhadap teknologi, mengabaikan sifat gotong-royong, mengalami kelunturan empati, kemunduran budi pekerti yang seharusnya terjaga sampai saat ini. Padahal dengan gotong-royong modal sosial peneguh solidaritas politik dan ekonomi sebuah wilayah atau negara.
Kecanggihan teknologi informasi belum diiringi dengan kuatnya literasi dan pemikiran, kreativitas, serta inovasi masyarakat Indonesia. Pragmatisme, hedonisme, sekularisme membuat masyarakat Indonesia cenderung menjadi konsumeris. Gampang puas, miskin daya juang, dan terkikis rasa memiliki.
Jika dibiarkan, tak ada pengelolaan maka dapat mengubah pikiran masyarakat Indonesia dan pada gilirannya nilai sosial budaya menjadi luntur akibat berbagai pengaruh budaya asing yang menggerus budaya bangsa Indonesia.
Lalu langkah apa yang harus dilakukan untuk mencapai kemandirian ekonomi khususnya di Kabupaten Jember?
Solusi terdekat saat ini melibatan tokoh-tokoh muda yang sudah membuktikan kiprahnya mencapai sukses di bidang mereka masing-masing.
Keterlibatan tokoh muda dalam pembangunan mental akan lebih cepat karena pola komunikasi yang dibangun dalam satu frekuensi yang sama.
Kedaulatan Ekonomi yang dapat diidentikkan dengan demokrasi ekonomi merupakan sistem ekonomi yang menjunjung tinggi nilai ketuhanan, kemanusiaan, kerja sama dan keadilan yang anti kapitalisme pada sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
Nilai-nilai tersebut dapat memperkokoh dan memantapkan Pancasila sebagai sistem ekonomi yang paling cocok dengan kondisi Indonesia menghadapi hegemoni globalisasi. Di sinilah, peradaban menunggu jawaban kaum muda untuk menjadi navigator. Jember butuh navigator sebagai representasi kaum muda kini dan mendatang. (*)
*) Penulis adalah Sekretaris Badan Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan (BPEK) DPC PDI Perjuangan Kabupaten Jember
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS