Dua tahun berjalan pandemi mengiasi kehidupan kita. Pandemi yang banyak membawa berita duka. Berita kematian seperti menjadi sarapan pagi. Ketakutan demi ketakutan harus dilawan. Selama ini, sudah banyak yang mengulas dampak negatif pandemi dan tulisan ini untuk menciptakan preposisi: dampak positif pandemi.
Kasus semacam virus Corona ini sebenarnya bukanlah hal pertama. Jika masih ingat, dulu ada fenomena Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS). Juga beberapa fenomena terkait virus lainnya yang akhirnya ilmu pengetahuan berupaya fokus membahas itu sebagai cikal-bakal lahirnya epidemiologi, ilmu tentang penyebaran penyakit menular pada manusia dan faktor yang memengaruhi penyebarannya. Terlepas dari itu, fenomena SARS dan MERS, akhirnya bisa benar-benar hilang bagaikan di telan bumi. Lantas apakah virus corona ini juga akan serupa? Entahlah.
Beberapa riset menyebutkan, varian virus Corona muncul kali pertama di China dengan kasus 82.230. Setelah itu disusul Amerika 85.228 kasus dan meninggi di Italia dengan 86.498 kasus. Akhirnya, virus ini seperti bergerak dengan kekuatan melebihi kekuatan cahaya, hingga 199 negara di dunia yang juga ikut merasakannya. Virus ini masuk ke Indonesia 2 Maret 2020, dengan praduga karena ada wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia. Data terakhir, 17 Oktober 2021, dari situs covid19.co.id, menunjukkan positif 4.234.758, sembuh 4.073.418, dan meninggal 142.952. Berdasarkan data, virus corona ini menyerang usia 30 hingga 89 tahun. Tentu hal itu bisa disederhanakan bahwa virus ini menyerang usia dewasa. Jika ada data usia di bawahnya, itu hanya sebuah pengecualian karena tidak signifikan data tersebut hadir simultan.
Patogenesis
Kabar yang diterima dari televisi, radio, koran, dan juga gawai, membuat harus benar-benar waspada. Protokol kesehatan harus benar-benar diterapkan. Pemerintah akhirnya menggerakkan aparat hukum dan jajarannya untuk menertibkan masyarakat yang abai. Hal itu dilakukan secara terus-menerus, hingga akhirnya lekat dan menjadi kebiasaan baru (baca: dinamika kebudayaan).
Namun di lain pihak, masyakarat dihadapkan pada fenomena yang mengejutkan. Darah naik karena seminggu dapat asupan gizi daging kurban, ketika ke rumah sakit tetiba diminta menandatangani surat positif Covid. Pancaroba, membuat tubuh meriang, batuk, dan pilek, ketika berobat harus tanda tangan juga. Hal yang lebih mengerikan, korban kecelakaan lalu lintas yang indikasinya jelas berbeda 360 derajat pun harus menandatanganinya. Tidak tanda tangan, biaya operasi begitu besar, uang untuk makan saja sulit, akhirnya surat pun ditandatangani. Masyarakat antipati menuju rumah sakit dan memilih kembali ke pengobatan tradisional warisan leluhur yang sudah lama ditinggalkan.
Fenomena puncaknya pada 3-4 bulan terakhir, ketika virus ini semakin mengganas. Tiada pilihan selain rumah sakit. Kepercayaan masyarakat kembali pada tenaga medis kembali naik, namun hal itu kembali diporakporandakan karena sepulang dari rumah sakit pasti menuju ke rumah persinggahan. Prosesi pemakaman pun mencekam. Bunyi sirene mobil ambulan seperti meneror: “Tunggu saja, setelah ini giliranmu.”
Kejadian ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga masuk hampir ke seluruh desa-desa kecil di pelosok negeri ini. Aroma kematian tiba-tiba seperti meneror tiap detik. Jantung dibuat senam, jedag-jedug-jedag-jedug. Mall sepi, pasar sepi, tempat wisata dilarang beroperasi, masjid apalagi. Dunia mendadak sintru.
Aroma segar kembali terhirup, ketika kabar vaksin sudah ditemukan. Masyarakat berbondong-bondong antre vaksin. Namun kekecewaan kembali lagi dirasakan ketika fenomena muncul orang meninggal gegara habis divaksin. Masyarakat dilema. Niat vaksin luntur. Pemerintah tidak kehabisan akal, strategi ditata kembali, syarat masuk mall harus menunjukkan sertifikat vaksin, masuk objek wisata juga, bahkan bansos dicabut jika menolak divaksin. Blum. Gempar lagi.
Prognosis
Bercerita dan mendengarkan cerita adalah kewajiban. Bergantian hingga berjam-jam. Dan hal yang kerap dipamerkan adalah kartu ajaib yang bisa mengantar ke mana-mana, serupa pintu ajaib Doraemon. Tentu ini adalah sesuatu yang positif, karena bisa memicu yang tidak berani vaksin untuk segera vaksin. Namun hal itu berbeda jika yang dipameri adalah golongan orang yang benar-benar penakut yang akut. Akan tetapi, bukan Indonesia jika tidak ada jalan-jalan kreatif. Jasa pembuatan kartu vaksin mulai merebak. Ada yang ditawarkan dari mulut ke mulut, ada yang melalui marketplace media sosial, ada juga yang dikemas secara profesional di e-commerce.
Namun lepas dari itu, tetap ada kelompok yang bijak dan arif. Kelompok yang akhirnya banyak meng-update skill sebagai bentuk pemberontakan, sehingga masyarakat kita semakin kompleks, tidak hanya ada generasi x yang dibesarkan kearifan lokal, tetapi juga generasi z yang dibesarkan oleh teknologi. Lapisan itu juga muncul dalam dunia akademik, para pengajar yang sebelumnya tidak menyentuh teknologi dalam pembelajaran kini sudah mulai piawai. Adaptasi itu ada yang muncul secara autodidak, melalui pelatihan, melalui seminar, dan juga forum-forum ilmiah yang diselenggarakan secara mandiri atau diselenggarakan pemerintah.
Tidak hanya itu, masyarakat secara lebih luas juga menunjukkan dalam keseharian. Orang paruh baya mulai membuat akun media sosial, belanja online, penggunakaan layanan jasa online seperti Gojek, Grap, dan sejenisnya. Varian baru dalam olshop semakin banyak, semua kebutuhan domestik bermunculan, dari produk modern hingga tradisional seperti lemper, rujak, gado-gado, dan tumpeng yang sudah bisa dipesan secara online.
Masyarakat Virtual: Antara Literasi dan Multiliterasi
Masyarakat virtual telah lahir dan mari kita sambut itu sebagai era baru. Era yang sebenarnya dipercepat karena adanya pandemi. Tentu ini bisa disebut sebagai dampak positif dari pandemi. Dunia pendidikan kita sudah sejak lama ingin menerapkan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ), namun selalu terkendala dalam segala perangkat yang harus terpenuhi. Hanya beberapa lembaga yang sudah menerapkan hal ini jauh hari sebelum ada pandemi, sehingga tidak kaget dengan PJJ. Jika pun ada kendala, hanya berupaya menyesuaikan dengan himbauan pemerintah dan tidak lagi pada wilayah teknis.
Beberapa riset pendidikan juga sudah mulai berbicara tentang multiliterasi dengan tidak lagi menerapkan pada literasi teks, tetapi lebih pada multimodal dalam penerapan literasi. Literasi melalui virtual, literasi melalui film, dan juga beragam literasi yang memanfaatkan kecanggihan teknologi. Namun bukan berarti keberadaan literasi teks sudah tidak relevan, sebab secanggih apapun teknologi, teks tetap tidak bisa tergantikan. Tentunya semua itu, tidak akan terjadi jika saja tidak ada pandemi. Sejak awal, jika kita kerap kali menghujat pandemi, maka sekarang saatnya kita mengucapkan terimakasih. Tabik.
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS