SURABAYA – Ketua Komisi C DPRD Surabaya Syaifuddin Zuhri mengatakan, penertiban puluhan bangunan rumah di kawasan Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) tidak boleh menimbulkan ekses negative bagi siapapun.
Khususnya dampak sosial terhadap warga dan pengembang yang sudah telanjur menancapkan bangunannya di wilayah konservasi hutan bakau itu.
Pihaknya juga berharap agar kasus seperti yang terjadi di wilayah Gunung Anyar, tidak lagi terjadi di wilayah lain Pamurbaya.
Artinya, jelas Syaifuddin, jajaran Pemkot Surabaya di tingkat kelurahan tidak lagi gampang mengeluarkan pethok baru jika wilayahnya sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi atau ruang terbuka hijau (RTH).
Dengan demikian, lanjut politisi PDI Perjuangan ini, kemungkinan munculnya sertifikat hak milik lahan baru di kawasan RTH tidak akan kembali ada, karena BPN juga tidak akan berani memprosesnya.
Untuk itu, komisi bidang pembangunan ini kemarin mendengarkan penjelasan pejabat yang terkait dengan pemanfaatan lahan yang telah ditetapkan sebagai RTH itu untuk tempat tinggal.
Jajaran terkait di Pemkot Surabaya yang diundang dewan, di antaranya camat dan lurah di dekat kawasan konservasi.
“Kami minta penjelasan kepada seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Pemkot Surabaya, kecamatan dan kelurahan, sekaligus mencarikan solusi yang terbaik bagi semua pihak,” kata Syaifuddin.
Tidak hanya ke jajaran instansi, Komisi C juga akan mendengar keterangan dari warga terdampak dan pengembang.
“Itu merupakan rangkaian dan lanjutan, karena kami harus mendapatkan informasi dari kedua belah pihak. Makanya warga akan kami undang pada pertemuan berikutnya,” terang Cak Ipuk, sapaan Syaifuddin.
Anggota Komisi C DPRD Surabaya lainnya, Sukadar, menyoroti kinerja aparat Pemkot Surabaya di tingkat kecamatan dan kelurahan yang selama ini dianggapnya lemah soal pengawasan.
Pemkot Surabaya, sebut Sukadar, seyogianya mengakui jika selama ini kecolongan. Sebab, tambah dia, tidak mungkin ada kegiatan pembangunan di suatu wilayah yang tanpa sepengetahuan pihak kecamatan dan kelurahan.
“Maka ini juga harus menjadi pertimbangan. Jangan asal pakai pasal ‘pokok-e’ salah. Ini tidak fair,” ucapnya.
Seperti diketahui, saat ini sebanyak 99 persil rumah di Wisma Tirto Agung berdiri di kawasan konservasi Pamurbaya. Keberadaan permukiman tersebut, kini masih dalam pembahasan Pemkot Surabaya terkait soal pemberian ganti rugi. (goek)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS