Senin
31 Maret 2025 | 10 : 36

Kisah Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota

Picsart_24-08-24_19-48-26-498_copy_792x577

Kehidupan ningrat ditanggalkan. Karir di instansi kolonialis pun ditinggalkan. Dan, memilih jalan perjuangan.

RAMAI media memberitakan perihal sebutan Raja Jawa beberapa hari belakangan. Kata itu dilontarkan seorang menteri yang juga kader partai dalam pidatonya pada acara musyawarah nasional partainya.

Kata Raja Jawa lantas mengggelinding dan menuai rupa-rupa komentar, mulai dari para tokoh, politisi, pihak Kraton Yogjakarta hingga Istana Kepresidenan.

Bahkan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarno Putri tergelitik ikut nimbrung dalam polemik.

“Makanya, saya kan langsung sambil sarapan ketawa. Ih, bilang ada Raja Jawa. Terus aku mikir,  aku mau kenalan juga deh sama Raja Jawanya,” kata Megawati di kantor DPP PDI Perjuangan, Kamis (22/8/2024).

Terlepas dari polemik itu, sejarah pergerakan Indonesia mengenal sosok tokoh besar yang bahkan pihak kolonial Belanda menjulukinya dengan sebutan, Ongeekronde Koning Van Java atau Raja Jawa Tanpa Mahkota. Siapa Dia?

Bunuh Diri” Kelas Sang Bangsawan

Adalah Raden Mas Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, sosok yang lahir di Madiun, 16 Agustus 1882. Ayahnya bernama Raden Mas Tjokromiseno, Wedana di Kleco, Madiun.

Kakeknya dari garis bapak, Raden Mas Adipati Tjokronegoro, pernah tercatat sebagai Bupati Ponorogo. Sementara buyutnya, Kiai Bagoes Kesan Besari, seorang ulama pengasuh pondok pesantren di Tegal Sari, Ponorogo.

Berbagai literasi sejarah menyebutkan, keluarga menyekolahkan HOS Tjokroaminoto di sekolah kepegawaian. Hingga saat tamat, ia pun bekerja sebagai juru tulis.

Namun, pada 1905, ia meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai negeri kolonialis. Memilih “bunuh diri” kelas meninggalkan keningratannya dengan menjadi pegawai swasta di perusahaan dagang saat berkelana ke Surabaya pada 1907. Mertuanya sempat protes ihwal resign kerja itu.

Di sela kesibukannya bekerja dan berkeluarga, ia aktif di organisasi sosial kemasyarakatan. Menjadi Ketua Panti Haryoso. Sembari menulis berbagai artikel perihal penghisapan perusahaan-perusahaan Belanda kepada Pribumi yang kemudian diterbitkan media umum.

Kecakapan Tjokroaminoto terdengar oleh pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI) Haji Samanhudi. Melalui seorang utusan, ia mengajak Tjokroaminoto bergabung dalam serikat.

Masuknya Tjokroaminoto membawa perubahan besar SDI. Ia mengusulkan SDI menjadi Sarekat Islam (SI), agar anggota tidak hanya dari kalangan pedagang.

Pada September 1912, SDI berubah menjadi SI. Tjokroaminoto didapuk menjadi pimpinan. Dalam perkembangannya, SI mempunyai keanggotaan hingga 2,5 juta orang meski pemerintah kolonial Belanda menolak menerbitkan pengesahan untuk organisasi ini.

Ini pula yang membuat Belanda menjulukinya sebagai Raja Jawa Tanpa Mahkota.

Menggodok Perlawanan di Rumah Kos

Selain bekerja dan berorganisasi, HOS Tjokroaminoto dan istrinya membuka rumah kos di kampung Peneleh, Surabaya.

Rumah Tjokroaminoto tak pernah sepi dari kedatangan tokoh-tokoh pergerakan kala itu. Dari yang tinggal hingga bertamu. Seperti Tan Malaka, Kartosoewirjo, Musso, Semaun, Alimin dan sebagainya.

Berdiskusi perihal persoalan-persoalan terkini, khususnya hal kolonialisme maupun kapitalisme yang terjadi.

Perihal itu seperti diceritakan Soekarno dalam buku ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, diterbitkan Yayasan Bung Karno.

Sukarno saat itu sebagai salah satu anak kos di rumah HOS Tjokroaminoto.

“Pak Cokro adalah idolaku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak, dia menggemblengku. Aku duduk di dekat kakinya dan dia memberikan buku-bukunya kepadaku.”

Sekolah di Surabaya, Sukarno Digembleng Raja Jawa Tanpa Mahkota

Bahkan keberadaan Soekarno indekos di rumah Tjokroaminoto bukan tanpa alasan. Ayahnya Sukarno, Raden Soekemi Sosrodihardjo sengaja menitipkan anaknya di rumah kos Tjokro.

“Sungguhpun engkau akan mendapat pendidikan Belanda, aku tidak ingin darah dagingku menjadi kebarat-baratan.”

“Karena itu kau kukirim kepada Tjokro, orang jang didjuluki oieh Belanda sebagai Raja Jawa yang
tidak dinobatkan,” kata Bung Karno menirukan ucapan ayahnya.  (hs)

BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tag

Baca Juga

Artikel Terkini

EKSEKUTIF

Salat Id, Wali Kota Mojokerto Ajak Masyarakat Bersama-sama Wujudkan Panca Cita

MOJOKERTO – Wali Kota Mojokerto Ika Puspitasari mengajak masyarakat untuk mewujudkan Panca Cita visi dan misi ...
KRONIK

Mengapa Bupati Situbondo Salat Ied di Wiringin Anom, Jati Banteng?

SITUBONDO – Suasana Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriah kali ini berbeda bagi jamaah sholat Ied Masjid Darul Falah ...
SEMENTARA ITU...

Ning Ita Bersyukur, Selama Ramadan Toleransi di Kota Mojokerto Sangat Tinggi

MOJOKERTO – Pemerintah Kota Mojokerto menyambut perayaan Idul Fitri 1446H dengan menggelar Gema Takbir bersama ...
SEMENTARA ITU...

Gelar Salat Id di Balai Kota, Pemkot Surabaya Fasilitasi Penyandang Disabilitas

SURABAYA – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menggelar Salat Idul Fitri 1 Syawal 1446 H di halaman Balai Kota ...
LEGISLATIF

Renny Pramana: Lebaran Momentum Refleksi Pemimpin Daerah Perkuat Kebijakan Pro-rakyat

SURABAYA – Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Provinsi Jawa Timur Wara Sundari Renny Pramana menyampaikan Lebaran ...
KRONIK

Puncak HUT ke-25, BMI Berkomitmen Rekrut Generasi Muda untuk Besarkan PDI Perjuangan

JAKARTA – Organisasi sayap PDI Perjuangan, Banteng Muda Indonesia (BMI) berkomitmen merekrut generasi muda untuk ...