Senin
21 April 2025 | 9 : 08

Kemerdekaan di Tengah Corona

Edy Firmansah

Ketika pintu Agustus terbuka, lamat-lamat terdengar koor nyanyi duka; Kulihat ibu pertiwi/sedang bersusah hati/airmatanya berlinang/emas intannya terkenang// Koor ini seolah iringan airmata dalam setiap langkah di masa pandemi yang kian hari kian mirip seret kaki dengan kruk akibat tabrak lari. Lantas sebuah tanya mengemuka, “Apa makna kemerdekaan di masa corona?”

Sebelum berjalan pada jawab, saya akan mulai dengan dua kisah pengantar yang mungkin muram dan gelap.  Jika Anda tidak berkenan membacanya, Anda bisa berhenti tepat di paragraf ini dan melakukan aktivitas lain yang jauh lebih berguna, misalnya, memberi makan ikan cupang atau menyiram tanaman.

Sebelum tragedi itu meluluhlantakkan hidup lelaki itu, membuat hari depannya serupa daun kering kena injak, sebuah mimpi buruk menghantuinya. Dalam mimpi itu ia mendapati anaknya meregang nyawa. “Kami melihat ia sekarat. Kami menghambur ke ranjang di ICU. Kami peluk dan cium dia sambil menyebut nama Tuhan. Ia menangis. Kemudian napasnya habis,” katanya.

Esoknya, setelah mimpi itu datang, ia mendapati anaknya, Joni, yang baru berusia dua tahun mendadak demam. Batuk-batuk. Mula-mula ia merawatnya di rumah. Namun melihat kondisi Joni tak kunjung membaik, ia membawanya ke klinik terdekat. Karena keterbatasan peralatan medis, klinik itu merujuk Joni ke RSUP Prof Kandou Malalayang, Manado, Sulawesi Utara. Joni dirawat selama sembilan hari di ruang isolasi. Sebab petugas kesehatan mendapati Joni positif Covid-19. Dan mimpi itu jadi kenyataan. Joni akhirnya meninggal.

“Adik so nyanda ada, rasa-rasa tape kaki, dari tape jiwa rasa-rasa mo malayang (bayi kami sudah tiada, rasa-rasanya kaki dan jiwa mau melayang),” kata lelaki itu. Lelaki itu bernama RW. Ayah Joni. Salah seorang warga Manado. Saat menceritakan itu di hadapan wartawan bbc.com matanya meremang. Sejenak kemudian pipinya basah. Nasib begitu licin. Airmata demikian asin.

Sementara itu di kampung Linggang, Desa Purworejo, RT 04, Kecamatan Tering, Kutai Barat, Kalimantan Timur, tampak sebuah rumah yang sepi. Di muka rumah tampak seorang anak bermain pasir. Setiap orang yang melintas dan melihat anak itu selalu terkenang pada nasib pahit penghuninya yang selalu menyembulkan iba. Pasalnya, Kino Raharjo (30) dan Lina Safitri (31), kedua orang tua Vino baru saja meninggal karena terpapar Covid-19. Keduanya meninggal tepat di hari lebaran Mei 2021 silam. Vino yang usianya baru 10 tahun kini hidup sebatang kara.

Dua kisah di atas hanya sebagian kecil dari betapa mengerikan pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Dan mereka tidaklah sendirian menghadapi derita berkepanjangan ini. Toa-toa masjid masih kerap mengabarkan berita duka bagai wali kelas mendata murid baru. Pada saat tulisan ini dibuat (26/07), tercatat jumlah pasien positif Covid-19 yang meninggal dunia di seluruh Indonesia bertambah sebanyak 1.487 pasien. Jumlah ini lebih banyak jumlah angka kematian pada hari sebelumnya, yakni 1.266 korban. Dengan tambahan angka kematian 1.487 korban, maka jumlah pasien meninggal dunia akibat virus corona pada Senin hari ini menjadi 84.766 orang. Angka tersebut berdasarkan angka dari lebih 3 juta kasus yang dirilis dari pusat data Covi-19.

Melihat angka-angka tersebut, tak berlebihan jika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan Indonesia menjadi negara dengan jumlah infeksi virus corona baru tertinggi di dunia, bersamaan dengan kasus kematian yang melonjak tinggi. Dilansir dari CNBC International, WHO mengatakan negara terpadat keempat di dunia ini telah melampaui India sebagai pusat baru virus corona di Asia.

Tentu saja angka sebanyak itu tidak semata-mata statistik. Melainkan dentum kecil ‘kiamat’. Sebab mereka adalah kakek-nenek, ayah-ibu, kakak-adik, anak-keponakan, sepupu, menantu-besan dan teman-kerabat kita. Dan mereka yang telah pergi dengan sepasang kapas menutupi lubang hidung tak akan pernah kembali lagi. Tak akan pernah. Yang ada hanya tangis sedih dan gamang akan nasib yang kelewat pedih bagi kita yang ditinggalkan.

Kita, tidak bisa tidak, menaruh hormat pada mereka yang rela mengorbankan apa saja untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Kita menaruh hormat setinggi-tingginya pada petugas kesehatan; dokter, perawat, satpam rumah sakit, supir ambulan yang tak kenal lelah berjibaku dengan sisa tenaga yang mereka miliki untuk mempertahankan sebuah nyawa. Kita menaruh hormat pada mereka yang mengupayakan tabung-tabung oksigen di tengah kelangkaan yang sempat membuat pasien dan keluarganya gemetar menghadapi takdir. Hormat pada mereka yang menggalang bantuan sosial di tengah lambannya gerak bantuan pemerintah pada mereka yang terdampak.

Saat negara barangkali mulai terseok memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar karena punggung ekonominya mendadak terserang encok saat pandemi, kitabisa.com menjadi rumah bagi nyala api rasa kemanusiaan dan gotong royong. Juga hormat para mereka para penyintas covid yang rela menjadi donor plasma convalesen. Termasuk pada mereka yang tetap mematuhi protokol kesehatan. Mereka semua adalah pahlawan.

Tapi kita juga mengutuk pada siapa saja yang menyebarkan hoax, memberi informasi sumir, menganggap corona hanyalah dagelan konspirasi dan memprovokasi orang untuk menolak vaksinasi dan tidak taat pada protokol kesehatan. Kita akan mencatat mereka, baik sebagai individu maupun kelompok, dengan tinta merah. Kita tak akan pernah lupa, di saat-saat awal corona mulai menggerayangi dunia, di pembukaan tahun baru 2020, beberapa pejabat tinggi negara mengomentarinya dengan kelakar seolah segalanya baik-baik saja.

Mereka masih dengan santai mempromosikan pariwisata tanpa mempertimbangkan dampak bagi keselamatan dan kesehatan rakyat. Kita mungkin memaafkan itu semua. Sebab kita adalah bangsa yang pemaafkan, barangkali. Sebab semua orang bisa melakukan keteledoran. Tapi kita tak akan melupakan. Sebab tragedi gampang sekali mengingat yang pahit.

Saking pahitnya, bahkan seandainya besok atau lusa atau lusanya lagi pandemi ini berakhir dan ada sebuah stasiun radio atau televisi dengan sedikit improvisasi dari cerita pendek Hassan Blasim, salah seoang pengarang kelahian Iraq yang tinggal di Finlandia, berjudul “The Song of the Goats” yang termuat dalam buku The Corpse Exhibition yang menayangkan program unggulan “Cerita Mereka dalam Suara Mereka Sendiri Menghadapi Pandemi” dan merangkum semua kisah sedih mereka yang berjuang, baik di garda depan, maupun di perbatasan terakhir, niscaya jutaan kisah-kisah itu bisa membuat sebongkah batu menangis, pohon-pohon runduk menaruh iba, dan istana negara meledakkan  dirinya sendiri.  

Lantas apa makna kemerdekaan di masa pandemi? Saya rasa ada dua hal penting memaknai kemerdekaan di masa pandemi ini. Pertama, kemerdekaan di masa pandemi adalah sebuah masa darurat. Maka, jika kita tak ingin mendengar koor sebuah nyanyi duka terus berkumandang bagai terompet kematian dari langit, tak ada pilihan lain selain mematuhi protokol kesehatan. Amukan corona varian delta masih menggila. Satu-satunya cara terhindar dari varian delta yang sudah sangat menyebar ini adalah menjaga jarak, mencuci tangan, dan memakai masker. Patuhi segala ketentuan PPKM Darurat, jangan ngeyel, jangan melanggar.

Upaya pemerintah yang terus menggenjot vaksinasi untuk memenuhi populasi warga yang divaksin jelas harus didukung dan diapresiasi. Namun persoalannya vaksin bukan obat. Sudah divaksin tidak berarti bebas melepas masker. Lagipula vaksin yang disuntikkan bukanlah virus lemah dari varian delta. Dengan kata lain, terhadap virus corona varian Delta, belum ada satu orang pun rakyat Indonesia yang telah divaksin. Di hadapan varian delta kita tetaplah mahkluk yang lemah bagai ranting kering mudah patah.

Berikutnya, kemerdekaan di masa pandemi adalah kemerdekaan mendapatkan akses informasi yang lengkap dan benar dari pemerintah tanpa ditutup-tutupi. Tanpa manipulasi. Sebab itu adalah Hak Asasi dan Hak Konstitusional sesuai amanah Pasal 28F UUD NRI 1945, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik serta aturan turunannya. Dengan informasi yang lengkap dan benar, masyarakat akan mampu dan memiliki bekal cukup untuk melindungi diri dan keluarganya pandemi ini. Tegasnya, akurasi informasi adalah kunci kemerdekaan hari ini. (*)

BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tag

Baca Juga

Artikel Terkini

KABAR CABANG

Halal Bihalal, Begini Pesan Anton Kusumo untuk Kader Banteng Kota Madiun

MADIUN – Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Perjuangan Kota Madiun menggelar acara halal bihalal di kantor partai yang ...
SEMENTARA ITU...

Amithya Dorong Event Kreatif di Kayutangan Heritage Diperbanyak

MALANG – Ketua DPRD Kota Malang Amithya Ratnanggani Siraduhita memberi acungan jempol acara bertajuk Batik Fashion ...
LEGISLATIF

Wiwin Isnawati: Budaya Tradisional Berperan Penting dalam Memperkuat Solidaritas Masyarakat

JOMBANG – Anggota Komisi B DPRD Jawa Timur, Wiwin Isnawati Sumrambah, menggelar sarasehan bertajuk “Memperkuat ...
KRONIK

Untari Ajak Kaum Perempuan Tak Hanya Mengenang Kartini, Tapi Juga Mewujudkan Mimpinya dalam Bentuk Nyata

MALANG – Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur Sri Untari Bisowarno mendorong perempuan, khususnya kaum milenial turut ...
KRONIK

Halal Bihalal Muhammadiyah, Bupati Fauzi Ajak Kolaborasi Wujudkan Sumenep Maju

SUMENEP – Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Sumenep menggelar acara Halal Bihalal di Pendopo Agung Keraton ...
KABAR CABANG

Halal Bihalal DPC Kabupaten Kediri, Ajang Silarurahmi dan Jaga Soliditas Kader

KEDIRI – Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Perjuangan Kabupaten Kediri menggelar halal bihalal Minggu (20/4/2025). ...