Aksi nasional menolak perpanjangan masa jabatan presiden 3 periode pada 11 April 2022 kemarin benar-benar menjadi atensi publik. Bukan saja karena aksinya yang meluas (tidak hanya terpusat di Jakarta, tapi juga digelar di berbagai daerah, juga mengangkat isu publik seperti kelangkaan minyak goreng, kenaikan bahan bakar dan kebutuhan pokok lainnya), melainkan juga karena Ade Armando.
Ade Armando mendadak ada di dalam kerumunan aksi massa BEM SI yang tengah mengepung DPR. Kabarnya hendak membuat konten. Namun ia dipukuli sekelompok orang yang ikut demo tersebut. Konon, dosen Universitas Indonesia yang juga ketua umum ormas Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS) itu babak belur dan wajahnya mengalami luka hingga berdarah. Bahkan pakaiannya koyak moyak dan nyaris telanjang.
Sekedar diketahui, di jagat maya, Ade Armando yang pakar komunikasi dan dosen Universitas Indonesia (UI) itu seringkali membuat pernyataan-pernyataan kontroversi dan kerap bikin banyak publik geram. Karena pernyataan itu ia kerap mondar-mandir bersaksi dan diperiksa polisi. Pada 2017 silam, misalnya, Ade Armando pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus penistaan agama karena cuitannya. pelapornya adalah Johan Khan.
Pada 2018 saja setidaknya tiga kali ia dilaporkan ke polisi, mulai unggahannya yang menyindir FPI hingga perkara azan. Di tahun 2020, Ade berurusan dengan dua organisasi di Sumatera Barat, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari (Bakor KAN) Sumbar dan Mahkamat Adat Alam Minangkabau karena unggahan Ade di aplikasi jejaring Facebook dianggap mencemarkan nama baik terhadap orang-orang Minangkabau. Namun semua laporan itu seolah mandeg.
BACA JUGA: Untari Sosialisasikan Program Merdeka Belajar kepada Kader Nasyiatul Aisyiyah
Dan entah mengapa isu penting aksi nasional seperti kenaikan bahan kebutuhan pokok tiba-tiba tenggelam digeser oleh kutukan terhadap tindak kekerasan segelintir orang terhadap Ade Armando. Seolah-olah apa yang menimpa Ade Armando adalah kesalahan seluruh massa aksi yang sedang menyuarakan kepentingan publik.
Padahal apa yang menimpa Ade Armando tidak sepenuhnya karena gelora api aksi massa semata. Benar memang sifat dari sebuah kerumunan (crowd) adalah tidak terduga, acak dan tak mudah terkendali. Terlebih massa itu bergerak dalam gairah untuk menggedor pintu kekuasaan dan segala antek-antek kekuasaan yang korup dan despotik. Mereka ingin didengar dan tak mau lagi jadi pendengar, sebab telah terlalu lama mereka bicara tenang dan sopan namun diabaikan. Sedangkan bicara keras, malah diintimidasi dan ditangkapi.
Gerakan massa adalah pilihan terakhir dari pembungkaman suara publik. Massa bergerak dan mengusung isu untuk meneriakkan sesuatu dan jika memungkinkan merobohkan pembatas yang membuat segala jadi jalan buntu. Nah, mendadak Ade Armando muncul melintang dalam gelombang massa itu. Kita tahu, Ade Armando adalah pendengung yang terus menerus menciptakan dinding tebal dan makin memberi jarak presiden dengan rakyatnya. Susah untuk menyalahkan aksi massa atau gerakan mahasiswa sepenuhnya jika melihat posisi Ade Armando yang kakinya berada di istana.
Berikutnya, apa yang menimpa Ade Armando merupakan bukti makin keroposnya sistem hukum kita. Tepatnya, Ade Armando adalah salah satu korban dari sekian banyak korban sistem hukum yang tidak adil. Berkali-kali Ade Armando berurusan dengan hukum, bahkan pernah jadi tersangka, namun belum juga pernah merasakan jeruji besi penjara.
BACA JUGA: Lestarikan Kesenian Tradisional, Bupati Fauzi Suguhi Musik Keleningan di Keraton Sumenep
Hal ini membuat publik makin yakin bahwa kinerja kepolisian makin mengkhawatirkan. Kita kerap menyaksikan bagaimana perlakuan polisi saat menangkap koruptor dengan perlakuan saat menangkap demonstran, misalnya. Kita tahu banyak sekali kasus kejahatan serius yang sering ditangani asal-asalan yang membuat publik makin kehilangan kepercayaan pada aparat hukum. Tagar #percumalaporpolisi yang sempat jadi trending topik di twitter usai kasus kasus bunuh diri seorang perempuan karena dipaksa aborsi oleh pacarnya, Bripda Randy Bagus, pada awal Desember 2021 mengemuka jadi bukti betapa makin tipisnya kepercayaan publik pada polisi. Selain banyak anggapan dari masyarakat bahwa sebagian besar polisi korup dan kehilangan motivasi sebagai penganyom dan penjaga masyarakat. Bahkan sering datang terlambat di tempat kejadian
Di tengah tingginya ketidakpercayaan publik itu, angka kriminalitas terus menanjak dari tahun ke tahun, terutama di kota-kota besar. Bahkan di tengah-tengah krisis ekonomi yang membuat banyak orang gampang naik pitam. Akibatnya masyarakat kemudian membuat sistem hukumnya sendiri, sebuah pengadilan jalanan diciptakan untuk melindungi mereka sendiri dari tindak kriminal. Cara tradisional masyarakat untuk menghadapi penjahat atau kejahatan tingkat tinggi. Barangkali Ade Armando tidak akan mengalami nasib demikian sial seandainya polisi bisa bersikap lebih awas dan datang di saat yang tepat.
Main hakim sendiri juga tidak akan terjadi jika kepercayaan publik pada kinerja kepolisian sangat tinggi dan perlakuan hukum sangat adil dan tidak diskriminatif. Survei-survei boleh saja mengatakan bahwa kepercayaan publik pada polisi tinggi, tapi fakta di lapangan tidak menunjukkan demikian. Beberapa orang barangkali bisa kebal hukum, tapi tak bisa sepenuhnya kebal bogem.
Tentu saja kita semua sepakat bahwa kekerasan dalam bentuk apapun tidak bisa dibenarkan dan harus ditindak secara hukum. Terlebih lagi kekerasan fisik yang bisa membuat orang terluka bahkan kehilangan nyawa. Karena itu apa yang menimpa Ade Armando bisa dijadikan batu pijakan untuk negara mulai kembali bercermin diri. Selagi aparat dengan sigap memburu pelakunya, selagi media sedang demikian sibuk memberitakannya, seolah-olah kekerasan yang menimpa Ade Armando jauh lebih berbahaya dari kenaikan bahan kebutuhan pokok, ada baiknya negara mulai melihat ke dalam diri apakah institusinya dan para pendengungnya sudah bersih dari perilaku kekerasan atau malah jangan-jangan melegitimasinya secara samar?
Kita tahu kekerasan dalam bentuk apapun akan menghilangkan banyak hal baik dan mengundang banyak hal buruk. Karena kekerasan orang kehilangan rasa aman dan kebahagiaan. Karena kekerasan orang jadi kehilangan kepercayaan pada negara. Dan kekerasan pulalah yang membuat orang yang ditindas akhirnya akan mengambil langkah keras melawan balik. Tentu kita semua tidak ingin kekerasan terjadi di mana-mana tanpa dijerat hukum yang setimpal.
Kita tidak ingin Ade Armando mendapatkan perlakuan seperti itu sama juga kita tidak ingin melihat warga Wadas digebuki, diintimidasi, dan dijarah rumahnya oleh aparat dan diejek oleh influecer hanya karena membela tanahnya dari proyek pembangunan negara. Jika negara bisa bersikap adil dan punya sikap antikekerasan tanpa pandang bulu, niscaya kita tak akan lebih banyak mengeluarkan airmata. Jujur saja kita telah banyak mendapatkan kesedihan dan berharap tidak mendapatkan lebih banyak lagi. Sebab semua itu melelahkan. (*)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS