KABINET baru telah diumumkan. Publik mengapresiasi struktur kabinet yang didominasi sosok profesional. Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumumkan para menterinya pada Minggu, 26 Oktober 2014, dan memilih nama Kabinet Kerja. Nama tersebut dipilih sesuai karakter Jokowi-JK yang mengutamakan bekerja dan bekerja. Namun, catatan khusus diberikan kepada sejumlah menteri dari partai politik.
Hasil Jajak Pendapat Kompas pekan lalu menyoroti ekspektasi publik terhadap susunan kabinet baru. Secara umum, publik merasa puas dengan struktur dan susunan Kabinet Kerja. Pendapat itu disuarakan 6 dari setiap 10 responden. Kepuasan responden itu diikuti pula ekspektasi publik yang cukup melambung. Delapan dari setiap 10 responden yakin bahwa Kabinet Jokowi-Jusuf Kalla akan menciptakan perubahan positif bagi bangsa.
Cara mengumumkan kabinet pun disorot publik. Berbeda dengan tradisi pengumuman kabinet sebelumnya, Presiden Jokowi mengumumkan para menterinya di halaman Istana Negara dan memperkenalkan satu per satu sosok para pembantunya itu. Saat memperkenalkan, Jokowi juga menyebutkan profesi dan pengalaman mereka. Para menteri saat itu berseragam kemeja putih lengan panjang dan celana panjang hitam.
Cara mengumumkan kabinet yang di luar tradisi pemerintahan sebelumnya itu memberi makna simbolis tertentu bagi publik. Kemeja putih dan celana panjang hitam adalah pakaian khas Jokowi setiap kali blusukan hingga ke berbagai pelosok. Suasana tak formal saat pengumuman menteri menciptakan makna bahwa mereka para pembantu Presiden yang siap bekerja. Makna ini dikemukakan 7 dari 10 responden jajak pendapat yang berpendapat, cara pengumuman itu sebagai cermin dari postur kabinet yang mau bekerja cepat.
Profesional
Sebenarnya, nama Kabinet Kerja bukan yang pertama kali dipakai di Indonesia. Nama ini pernah digunakan Presiden Soekarno. Pada masa Demokrasi Terpimpin ada empat Kabinet Kerja, yakni Kabinet Kerja I (1959-1960), Kabinet Kerja II (1960 -1962), Kabinet Kerja III (1962 -1963), dan Kabinet Kerja IV (1963-1964). Lima puluh tahun kemudian, muncul kembali Kabinet Kerja di bawah Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Konotasi kerja yang melekat dalam kabinet baru disuarakan mayoritas publik jajak pendapat. Hal itu terutama menyangkut struktur kabinet. Sebanyak 73,7 persen responden mengapresiasi proporsi menteri non-partai politik yang lebih besar dibandingkan menteri berlatar belakang partai politik.
Dengan komposisi kabinet seperti itu, Kabinet Kerja Jokowi-JK, menurut responden, memiliki kelebihan dibandingkan kabinet sebelumnya, yaitu lebih tampak sebagai kabinet profesional. Bahkan, sebagian besar responden menyatakan struktur seperti itu akan lebih menjamin perwujudan program-program untuk rakyat dibandingkan kepentingan segelintir kelompok.
Salah seorang menteri yang disorot luas media massa adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Sosoknya dinilai tak biasa karena tingkat pendidikan yang tidak tamat SMA, tetapi mampu berprestasi sebagai pengusaha tangguh. Keberhasilannya sebagai pengusaha bidang perikanan dan penerbangan mampu meyakinkan publik bahwa ia akan bisa mewujudkan visi-misi Jokowi-JK yang ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Tujuh dari 10 responden jajak pendapat Kompas menyatakan, Susi akan mampu menyelesaikan problem perikanan dan kelautan meski ia tidak menyelesaikan level pendidikan menengahnya. Bagi publik, gelar sarjana tak menjamin seseorang mampu bekerja dengan baik, termasuk di kementerian. Daya kerja yang baik dan kemampuan menggerakkan kinerja orang banyak menjadi yang terpenting dalam mengukur kapasitas menteri.
Kontroversi
Di samping apresiasi, hasil jajak pendapat merekam keraguan publik terhadap sejumlah menteri yang berlatar belakang partai politik. Dua dari lima responden berpendapat, setidaknya masih ada motif memberikan jatah kursi menteri kepada partai politik ketimbang memilih sosok profesional dari partai politik dalam penyusunan Kabinet Kerja ini. Penilaian tersebut membuat 40,6 persen responden meragukan keberpihakan para menteri itu kepada kepentingan rakyat.
Sorotan terutama ditujukan kepada Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno. Di satu sisi, beberapa pihak meragukan Puan, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang belia dari segi usia, pengetahuan, dan pengalaman, dalam memimpin kementerian koordinator yang mengurus sumber daya manusia. Sejumlah kelompok lainnya menyatakan politisi muda itu perlu diberi kesempatan untuk membuktikan kemampuannya.
Publik jajak pendapat memiliki pendapat cukup beragam. Lebih dari separuh responden menyatakan, jabatan yang diberikan kepada Puan belum sesuai kemampuannya, alias meragukan kemampuan. Namun, jawaban bernada lebih positif diberikan manakala pertanyaan dikaitkan dengan keyakinan mewujudkan Revolusi Mental yang dicanangkan Jokowi.
Keraguan terhadap Puan disuarakan para pemilih partai politik pendukung Jokowi-JK ataupun Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Dalam kelompok partai politik pendukung Prabowo, separuh lebih responden meragukan kompetensi Puan. Pada kelompok partai politik koalisi Jokowi-JK, proporsi responden yang meragukan kemampuan Puan seimbang dengan mereka yang meyakini kemampuannya.
Sementara itu, 43,4 persen responden meragukan Rini Soemarno memiliki rekam jejak bersih. Jika melihat kelompok responden berdasarkan pilihan partai politik, suara miring terhadap Rini Soemarno dinyatakan lebih banyak oleh para pemilih parpol koalisi Prabowo. Namun, masih terdapat 34,8 persen responden pemilih parpol koalisi Jokowi yang meragukan Rini memiliki rekam jejak bersih, terutama karena KPK pernah memeriksanya terkait penerbitan surat keterangan lunas beberapa obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Tantangan kabinet
Terlepas dari persoalan kontroversi penunjukan menteri tersebut, tugas berat sudah menanti para menteri. Persoalan ekonomi yang menanti adalah subsidi BBM yang secara bertahap akan dihapus dengan menaikkan harga BBM. Jargon subsidi BBM akan memberatkan industri dan rakyat dinilai sebagian pengamat hanya akal-akalan pihak yang selama ini menikmati subsidi puluhan triliun rupiah, seperti industri mobil, industri minyak, dan industri energi.
Kompensasinya, program kesejahteraan rakyat yang dijanjikan Presiden Jokowi sangat ditunggu. Dana yang diperoleh dari pengurangan subsidi BBM tersebut dapat digunakan untuk peningkatan akses pendidikan dan kesehatan. Program tiga kartu ”sakti”, yaitu Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Keluarga Sejahtera, dijanjikan akan diluncurkan pada 7 November 2014 secara bertahap.
Tantangan berikutnya adalah isu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang belum terselesaikan. Hal ini sesuai harapan publik yang menginginkan dalam 100 hari pertama Kabinet Kerja segera menyelesaikan gejala utama masalah hukum, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat. (Yuliana Rini DY/Litbang Kompas)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS