Mempertahankan Kemerdekaan di Bukit Menumbing
Tokoh-tokoh kunci negeri ini diasingkan. Dikurung di jaring kawat yang biasa dipakai untuk membuat kandang ayam. Kemerdekaan Republik Indonesia hampir saja tinggal cerita.
PESAWAT pembom jenis B-25 mendarat di Bandar Udara Kampung Dul (sekarang Bandara Depati Amir) Kota Pangkal Pinang. Pesawat milik Angkatan Udara Belanda itu mengangkut Presiden RI Soekarno dan Menteri Luar Negeri H Agus Salim. Saat itu 5 Februari 1949, masa agresi Belanda ke-II.
Bung Karno dan Agus Salim diterbangkan Belanda ke pulau ini untuk diasingkan. Sebelumnya, kedua tokoh ini dibuang di Prapat, Sumatera Utara. Bung Karno dan Agus Salim –seperti tertulis di salah satu dokumen di Pesanggrahan Menumbing Kecamatan Muntok Kabupaten Bangka Barat– menjadi rombongan ke tiga dari para tokoh bangsa yang diasingkan di Menumbing dalam kurun satu purnama.
Rombongan pertama adalah Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sekretaris Negara Mr AG Pringgodigdo, Ketua Badan KNIP Mr Assaat, dan Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Suryadharma. Kelompok ini diterbangkan dari Jogjakarta pada 22 Desember 1948.
Menyusul berikutnya, rombongan kedua, adalah Wakil Perdana Menteri Mr Mohammad Roem dan Mneteri Pengajaran Mr Ali Sastroamidjojo yang juga diterbangkan dari Jogjakarta pada 31 Desember 1948.
Bung Karno, di Menumbing hanya tinggal beberapa hari. Ia bersama Agus Salim dipindahkan ke Pesanggrahan Muntok atau sekarang terkenal dengan sebutan Wisma Ranggam, Kota Muntok, Kabupaten Bangka Barat. Konon, pemindahan Bung Karno atas permintaannya sendiri karena tidak tahan dengan cuaca dingin Bukit Menumbing.
“Ah itu sih memang siasat Belanda. Menurut saya memang sengaja (dipisahkan). Tau sendirilah bagaimana dahsyatnya mereka (Bung Karno dan Bung Hatta) kalau sudah gabung,” bantah Juru Pelihara Wisma Ranggam Eddy Rasidi.

Bung Hatta, seperti terbaca dari dokumen di Menumbing, menggambarkan kurungan tersebut berukuran 6 kali 4 meter. Sementara tingginya menempel hingga langit-langit ruangan. Di dalam kurungan tak ada rupa-rupa perabotan. Hanya enam kursi dan satu meja makan.
Kerangkeng ini pula yang kemudian membuat heboh dunia internasional. Betapa tidak, para pejabat penting dari negara yang telah menyatakan kemerdekannya masih saja diasingkan dan dipenjarakan. Solidaritas dari bangsa-bangsa Asia pun bermunculan dan disuarakan di forum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Desakan internasional membuat mereka kemudian dilepas dari kerangkeng pada 10 Januari 1949.
Terungkap kemudian jika pemenjaraan dan pengasingan tersebut adalah cara untuk meruntuhkan mental para tokoh tersebut. Tujuannya tentu saja untuk merebut kembali Indonesia. Buktinya, seperti terjelaskan dalam dokumen, dua hari setelah itu utusan Belanda menyodori perjanjian untuk ditandatangani Bung Hatta dkk.
Isi perjanjian adalah sebagai berikut. Satu, republik telah tiada. Dua, Soekarno-Hatta dan pejabat-pejabat lainnya adalah orang biasa dan bukan pejabat Pemerintah RI. “Tetapi Hatta menolak menandatangani perjanjian itu,” sebut dokumen yang tergantung di dinding Pesanggrahan Menumbing.
Kegigihan Bung Karno, Bung Hatta dan para tokoh bangsa mempertahankan kemerdekaan tersirat dari puisi yang dibuat wakil presiden pertama Indonesia di tempat ini. Sajak puisi Hatta sempat diabadikan di lempengan tembaga yang dilekatkan di sebuah tugu di pelataran Wisma Ranggam. (hs)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS