JAKARTA – UU Pilkada yang baru disahkan DPR memicu penolakan banyak elemen masyarakat karena dinilai menggerus demokrasi. Empat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pun kompak mengajukan gugatan atas UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Empat LSM yang menggugat UU Pilkada antara lain International NGO Forum on Indonesia Development (Infid), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), LBH Pers dan Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial).
“Empat organisasi non pemerintah menyatakan kepentingan konstitusionalnya terganggu sepanjang menyangkut pemajuan demokrasi dan pemenuhan hak asasi manusia,” kata Wahyudi Djafar dari LBH Pers di gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (29/9/2014).
Wahyudi dan rekan-rekannya menggugat Pasal 3 UU Pilkada yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dalam dalil permohonannya, Wahyudi menilai DPRD bukan pemegang kedaulatan tertinggi sehingga pilkada melalui DPRD bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat.
“Ketentuan Pasal 3 UU Pilkada menciptakan ketidakpastian hukum karena dinamika politik demokrasi hari ini menginginkan agar model pemilihan pemimpin politik dilakukan melalui pemilihan langsung,” ujar pria yang juga jadi peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) ini.
“Ketentuan Pasal 3 UU Pilkada juga bertentangan dengan azas-azas pemiluhan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil,” imbuhnya.
Selain keempat LSM itu, enam warga negara Indonesia yang mengaku sebagai pembayar pajak juga ikut menggugat UU Pilkada. Mereka merasa dihilangkan hak politiknya oleh UU Pilkada karena tak bisa lagi memilih kepala daerahnya secara langsung.
“Keenam warga negara itu mengklaim telah mengalami kerugian konstitusional dalam hak-hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Sebagai tax payer telah dihilangkan hak politiknya, kehilangan hak memilih secara langsung untuk kepala daerah,” ucapnya.
Sumber: Detik
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS