SURABAYA – Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menegaskan bahwa efisiensi anggaran bukan sekadar mengurangi pengeluaran. Tapi tentang bagaimana dana yang dikeluarkan mampu menghasilkan dampak ekonomi yang jauh lebih besar.
Eri mencontohkan bahwa ketika pemerintah menggelar acara seperti pameran atau festival budaya, itu bukanlah pemborosan, melainkan strategi untuk menggerakkan ekonomi warga.
“Ketika saya mengeluarkan uang Rp200 juta, tapi bisa menggerakkan banyak orang, berapa ekonomi yang bergerak? Berapa kemiskinan yang bisa kita selesaikan?” kata Eri Cahyadi, di Balai Kota, Sabtu (1/3/2025) lalu.
Dia menekankan bahwa kebijakan efisiensi harus dilihat dari outcome (hasil) yang dihasilkan. Bukan hanya dari jumlah uang yang dikeluarkan.
“Kalau Rp200 juta hanya digunakan untuk menyelesaikan masalah 300 orang miskin, dampaknya kecil. Tapi kalau dana yang sama digunakan untuk mengadakan pameran yang mendatangkan banyak wisatawan, maka perputaran uang yang terjadi bisa mencapai miliaran rupiah,” jelasnya.
Politisi PDI Perjuangan ini mencontohkan event Rujak Uleg. Salah satu festival tahunan di Kota Surabaya ini sering dianggap hanya sebagai kegiatan seremonial.
“Ada yang bilang, ‘Loh, efisiensi kok malah mengadakan Rujak Uleg?’. Tapi coba dihitung berapa banyak wisatawan yang datang ke Surabaya? Berapa hotel yang penuh? Berapa restoran dan tempat wisata yang dikunjungi? UMKM bergerak, dan uang yang masuk ke kota lebih besar dari yang dikeluarkan,” paparnya.
Menurut dia, efisiensi bukan berarti memangkas semua anggaran tanpa melihat manfaat jangka panjang. Jika dana yang dikeluarkan bisa mendatangkan pemasukan yang lebih besar, sebutnya, itu adalah efisiensi yang sebenarnya.
“Misalnya saya keluarkan Rp200 juta, tapi hasilnya perputaran ekonomi mencapai Rp3 miliar. Artinya saya untung, bukan rugi. Efisiensi adalah ketika uang yang masuk lebih besar dari uang yang keluar,” terang Eri.
Dia juga mengingatkan warga agar tidak hanya menuntut pemerintah untuk mengatasi kemiskinan, tapi juga ikut berperan aktif.
“Budaya arek Suroboyo itu tolong-menolong. Kalau ada tetangga yang butuh, ya dibantu. Sekarang banyak yang hanya bisa bicara, tapi ketika diminta membantu Rp100 ribu per bulan untuk tetangganya yang miskin, kok susahnya minta ampun,” ungkapnya.
Eri mengajak warga yang mampu untuk tidak hanya mengritik, tapi juga berkontribusi nyata dalam menyejahterakan lingkungan sekitarnya. (nia/pr)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS