Jepang menjanjikan kemerdekaan pada 24 Agustus 1945. Sejumlah pemuda menginginkan tanggal 15.
BEBERAPA Pemuda mendatangi rumah Sukarno di Jl Pegangsaan Timur 56, Jakarta, 15 Agustus 1945 malam. Kedatangan para pemuda seiring menyerahnya Jepang kepada pihak sekutu pada 14 Agustus. Dan, berita kekalahan Jepang resmi disiarkan radio kekaisaran negeri Sakura tersebut pada tanggal 15 Agustus.
Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia menuliskan, sejumlah pemuda mendesak Bung Karno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
“Sekarang Bung. Sekarang, malam ini. Mari kita kobarkan revolusi yang hebat malam ini juga,” kata Khairul Saleh.
Pemuda-pemuda revolusioner, demikian Sukarno memanggil mereka, diakuinya sebagai kekuatan vital untuk mengambil tindakan. Namun, Sukarno berpikir untuk mengendalikan para pemuda itu agar tidak bergerak terlalu cepat.
“Yang paling penting di dalam suatu peperangan dan revolusi adalah waktu yang tepat. Di Saigon aku sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17,” kata Sukarno.
“Mengapa tanggal 17, tidak sekarang saja atau tanggal 16?” tanya pemuda lainnya, Sukarni.
Perihal pemilihan tanggal 17, juga tak luput dari dimensi spiritual pada diri Sukarno seperti ia akui dalam buku otobiogafinya.
“Hari Jumat ini Jumat Legi. Jumat yang manis, Jumat suci. Dan hari Jumat tanggal 17. Alquran diturunkan tanggal 17. Orang Islam melakukan sembahyang 17 rakaat dalam sehari, bukan 10 atau 20? Karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia,” kata Sukarno.
“Ketika aku pertama kali mendengar berita penyerahan Jepang, aku berpikir kita harus segera memproklamirkan kemerdekaan. Kemudian aku menyadari, adalah takdir Tuhan bahwa peristiwa ini akan jatuh di hari keramat-Nya. Proklamasi akan berlangsung tanggal 17. Revolusi akan mengikuti setelah itu,” imbuhnya.
Perdebatan malam itu buntu. Pada 16 Agustus dini hari, para pemuda membawa Sukarno ke Rengasdengklok. Dalam mobil yang membawa Sukarno, juga ada Hatta. Para pemuda menganggap, aksi yang dilakukan untuk mengamankan Sukarno-Hatta dari pengaruh Jepang.
Janji Kemerdekaan
Beberapa hari sebelumnya, tanggal 8 Agustus 1945, Sukarno, Mohammad Hatta dan Dr Radjiman Wedyodiningrat terbang ke Dalat, Vietnam, melalui Singapura kemudian Saigon. Keperluannya, melakukan pertemuan dengan Marsekal Hisaichi Terauchi, Panglima Angkatan Perang untuk Asia Tenggara.
Pada tanggal 12 pertemuan berlangsung. Pada pertemuan itu, Terauchi mengakui bahwa nasib Jepang di ujung tanduk menyusul kekalahan beruntun dalam perang di Asia Timur Raya. Juga dampak bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945.
Karena itu, Terauchi kepada tiga tokoh itu untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Aj Sumarno dalam buku Pendudukan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1991) seperti dikutip tirto.id, Terauchi menyarankan agar kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus 1945.
Janji kemerdekaan dari Jepang kepada Indonesia bukan kali ini saja. Sebelumnya, Perdana Menteri Kuniaki Koiso dalam sidang istimewa Teikoku Henkai ke-85 di Tokyo, pada 7 September 1944, menyampaikan janji Kekaisaran Jepang untuk memberikan Kemerdekaan Indonesia, kelak.
Janji tinggal janji. Para tokoh pergerakan Indonesia terus menagih kemerdekaan kepada Jepang. Termasuk Sukarno yang beberapa kali bersikap keras kepada Jepang seperti ditulis sejarawan JJ Rizal di kompas.com.
“Sukarno marah besar sehingga menakutkan Miyoshi, pejabat Gunseikanbu. Alhasil dibentuklah BPUPKI .”
BPUPKI atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia kemudian terbentuk pada 26 April 1945. Di saat yang sama, Sukarno juga bersurat kepada pelajar-pelajar Indonesia di Jepang bahwa ia tak percaya kemerdekaan diberikan oleh Jepang. Tapi harus direbut.

Proklamasi Kemerdekaan
Di Rengasdengklok, para pemuda terus mendesak Sukarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan. Keduanya setuju jika proklamasi dilaksanakan secepatnya di Jakarta, dengan mengetahui anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Maka pada 16 Agustus malam, Sukarno dan Hatta yang dijemput Achmad Soebardjo dan para pemuda berangkat ke Jakarta.
Di Jakarta, di rumah Laksamana Maeda, naskah proklamasi disusun oleh Sukarno, Hatta, dan Subardjo pada 17 Agustus jam 03.00 dini hari seperti dikutip dari website Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Dua jam naskah dibuat, lalu diserahkan kepada Sayuti Melik untuk diketik.
Dan, naskah proklamasi dibacakan beberapa jam kemudian, pukul 10.00 di halaman rumah Sukarno, Jl Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Proklamasi
Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Jakarta, 17-8-’45
Atas nama bangsa Indonesia
Sukarno-Hatta.
(hs)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS