SURABAYA – Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Provinsi Jawa Timur, Agatha Retnosari, mendorong generasi muda untuk meningkatkan kesadaran guna mencegah tindak kekerasan seksual sejak dini. Menurutnya, penanganan kasus kekerasan seksual memerlukan penanganan serius.
Agatha juga menjelaskan, meskipun RUU TPKS resmi disahkan, masih banyak yang mengalami mispersepsi dan belum memandang suatu kasus dari sudut pandang korban.
“Jangan pernah takut jika mengalami pelecehan seksual. Jika kita mengetahui ada kasus pelecehan di sekitar kita ada baiknya kita melakukan penguatan kepada korban,” ujar Agatha dalam workshop bertajuk “Pelecehan Seksual, Siapa yang Salah” di Hotel Aria Centra Surabaya, Kamis (12/10/2023).
Terlebih, tambah Agatha, pesatnya teknologi membuat kekerasan seksual makin masif. Seperti revengeporn hingga penyebaran konten berbau seksual sangat mudah dilakukan.
“Untungnya UU TPKS ini sudah diresmikan. Yang mau kita lakukan adalah perlindungan pada korban karena selama ini hukum kita memang sudah mengatur di KUHP, tapi perspektifnya belum dari perspektif korban, sering ada kriminalisasi pada pelapor,” tuturnya.
Karena itu, kata Agatha, pihaknya merasa perlu untuk menggelar workshop yang melibatkan anak muda hingga orang tua untuk diberi edukasi terkait apa saja yang harus dilakukan jika terjadi kekerasan seksual. Mulai dari pencegahan hingga penanganan dan perawatan pasca terjadinya kasus.
“Harapannya, ini sasarannya banyak anak muda dan ibu-ibu. Jadi, semoga mereka punya awareness lebih. Apalagi pertanyaan dari mereka kontekstual seperti ttg artificial intelegent, sampai pelecehan pada binatang,” tandas anggota Komisi B DPRD Jatim itu.
Selaras dengan hal tersebut, Presidium Nasional Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Wiwik Afifah, yang menjadi narasumber, menjelaskan, pelecehan seksual dapat terjadi pada siapa saja dan di mana saja. Untuk itu, penting melakukan edukasi seks sejak dini.
“Namanya disebut kekerasan seksual karena kekerasan tidak hanya pada organ reproduksi, tapi organ seks. Seluruh bagian tubuh kita adalah organ seks dan membawa kadar ketertarikan seksual, tapi belum tentu terjadi sentuhan,” ujar Wiwik.
Wiwik juga mengingatkan untuk tidak takut melapor jika mengalami atau menemukan adanya kekerasan seksual di lingkungan terdekat, dan tidak serta-merta menghakimi korban.
“Genuine consent itu ambigu, karena pasti posisi korban dan pelaku tidak setara. Misal pelaku harus merayu pacarnya agar korban tidak berdaya dan mau melakukan kegiatan seksual,” terangnya. (nia/set)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS