Oleh Martin Rachmanto*
SELALU ada perbincangan menarik di antara para pengunjung kedai kopi. Sambil menikmati kopi dan aroma tembakau, beragam topik mencuat, mulai dari soal dunia hingga soal akhirat, dari soal politik hingga soal prostitusi.
Dulu pernah ada ulasan tentang Soekarno dan para pekerja seks di masa pergerakan Indonesia. Kini, topik serupa juga ada, meskipun sudut pandang dan ulasannya berbeda. Misalnya, soal prostitusi dan hajatan politik (pilkada).
Dalam KBBI, prostitusi dapat dipahami sebagai pertukaran uang atau hadiah dengan hubungan seksual sebagai suatu bentuk transaksi perdagangan. Sementara pilkada adalah pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif lokal yang memenuhi syarat.
Lalu apakah ada korelasi di antara keduanya? Dari sudut pandang penulis, memang ada. Pilkada dan prostitusi keduanya berdampak pada sisi ekonomi dengan justifikasi teoritis.
Pertama, berangkat dari Teori Kemiskinan. Gagasan utamanya adalah motivasi calon untuk mendapatkan simpati pemilih (masyarakat), guna mengumpulkan pundi-pundi kekayaan sebagai solusi meninggalkan konsep miskin. Kemiskinan adalah suatu kondisi ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi standar hidup rata-rata masyarakat di suatu daerah.
Kedua, menyangkut aspek kehendak untuk bahagia. Kemasan teoritisnya adalah Teori Kebahagiaan Kolektif. Teori kebahagiaan kolektif merupakan koridor konseptual guna mewujudkan kebahagiaan (kesejahteraan) secara jamak untuk semua golongan lapisan masyarakat.
Prostitusi pada dasarnya merupakan salah satu refleksi kemiskinan. Dalam arti, karena ada kemiskinan, maka praktik prostitusi itu lahir. Paling tidak, kemiskinan mental dan moralitas. Kemiskinan acapkali menjadi pembenar atas praktik prostitusi yang dilakukan.
Tautan dengan kemiskinan, kampanye adalah panggung untuk menarik konsumen, dengan kosmetik yang telah disiapkan dan didesain dengan kemasan menggoda, serta membangkitkan cita rasa pengambilan keputusan konstituen.
Selanjutnya, pada prostitusi kebahagiaan terwujud ketika penyedia jasa dan pengguna jasa sama-sama menemukan kesepakatan harga. Kedua belah pihak sama-sama mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan. Pihak pelacur mendapatkan kebahagiaan pembayaran, pengguna jasa mendapatkan kepuasan hasrat.
Dalam kontestasi pilkada, kebahagiaan terbangun ketika masyarakat sebagai penerima kebijakan dapat menggambarkan program bakal calon dapat dirasakan ketika nanti memenangkan kontestasi. Sementara peserta kontestasi mendapatkan nama besar atas jabatan yang dapat melahirkan kebijakan berikut pamor, popularitas yang menyertai sebagai akibat.
Karena itu, tak salah jika setiap kandidat bersolek pada setiap kali penampilannya. Karena tampilan program hingga gesture penyampaian informasi harus pada kemasan yang benar-benar menarik, menggoda bahkan tidak jarang dibumbui dengan beberapa hal yang sedikit menipu.
Dan tak bisa dipungkiri, dalam dunia pergerakan nasional pelacur adalah mata-mata terbaik di seluruh penjuru dunia. Seperti yang dilakukan Soekarno di kala masa penjajahan Belanda. Tidak lebih 670 wanita tuna susila (WTS) dimanfaatkan menjadi spionase untuk mendukung pergerakannya. Mereka para pekerja sosial dimanfaatkan kemampuannya menggoda para lelaki hidung belang untuk menggali informasi.
Nah, di kontestasi pilkada ini kita akan memilih menjadi bagian yang mana. Sebagai teman pelacur, atau sebagai pengguna jasa pelacur. Semua sama-sama menggunakan dasar kemiskinan untuk mendapatkan kesejahteraan.
Yang pasti, dalam kontestasi pilkada juga muncul “mucikari”, pecinta dan pembenci atau pencaci. Ketiga karakter tersebut dalam ajang pilkada sama-sama tak punya nilai yang berarti.
Mucikari hanya sebatas mengambil keuntungan untuk pribadinya sendiri. Pecinta hanya terpesona atau terbawa oleh syahwat atau birahi. Sementara pencaci hanya mampu mengkritisi tanpa mampu memberi solusi.
Meskipun sangat sulit ditolak kemunculannya dalam pilkada serentak nanti, marilah kita berharap, semoga tidak lahir banyak mucikari dan pencaci dalam kontestasi pilkada serentak bulan November 2024 nanti. (*)
*Kader PDI Perjuangan Kabupaten Jember
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS