Jumat
31 Januari 2025 | 11 : 46

Ada Jurnalis M. Tabrani van Madura pada Peristiwa 28 Oktober

muhidin-dahlan

Banyak betul penisbahan yang kita temukan saat berjumpa dengan frasa “Madura”. Bagi awam, Madura adalah cerita tentang transaksi besi bekas dan warung kelontong. Dua hal yang kerap menjelma menjadi sesuatu olok-olok.

Emha Ainun Nadjib berbeda lagi. Ia kerap menempatkan Madura sebagai sumur dari 1001 cerita lelucon. Seperti sumur zamzam, hal-hal yang lucu tak pernah bisa kering dari pulau garam itu. Dalam khazanah lelucon itu, orang Madura ditempatkan Cak Nun—dalam beberapa kali kesempatan berceramah juga dilakukan Gus Dur—sebagai subjek yang “polos” dan sekaligus kreatif.

Tapi, Madura juga menyimpan keseriusan. Jika bukan sesuatu yang “serius”, sejarawan Kuntowijoyo tidak menjadikan orang Madura beserta semua sistem sosial keagamaan di dalamnya menjelma menjadi disertasi yang kemudian dibukukan dengan judul Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940.

Hal yang serius ini pula saat saya berjumpa dengan salah satu tonggak penting dalam perjalanan sejarah Indonesia, yaitu peristiwa 28 Oktober 1928. Peristiwa bernama Kerapatan Pemuda II itu lebih dikenal dengan Sumpah Pemuda.

Pada peristiwa tersebut ada pemuda cerdas bernama M. Tabrani. Ia bahkan sudah terlibat aktif menjadi ketua panitia pada Kongres Pemuda I pada 1926 yang diselenggarakan di Loge Ster in Het Oosten, Batavia.

M. Tabrani yang lahir di Pamekasan bersamaan dengan Tirto Adhi Soerjo menerbitkan koran pertamanya di Bandung, Soenda Berita, adalah jurnalis yang sangat sadar bahwa jalan jurnalistik adalah kendaraan yang pas untuk mempersatukan seluruh kekuatan bumiputra.

Mestinya, masa depannya bisa cerah sebagai ASN atau PNS atau BB atau ambtenaar lantaran ia bersekolah di OSVIA atau sekolah pegawai Belanda. Justru, jurnalistik yang lebih memikat dan dipeluknya dengan luar biasa serius.

Mula-mula, selain berkegiatan di organisasi Jong Java, ia “nyantrik” dengan Agoes Salim di koran Hindia Baroe. Ia diberikan jabatan yang mentereng sebagai redaktur. Kursi itu sebelumnya diduduki R. Roestam Palindih.

Pada Agoes Salim yang tulisannya cukup galak diam-diam M. Tabrani belajar yang mengantarnya kelak memaki-maki M.H. Thamrin pada Juli 1940 di koran Pemandangan yang dinakhodainya.

Saat di Jong Java dan Hindia Baroe inilah Tabrani diberikan mandat untuk menjadi ketua panitia Kongres Pemuda I tahun 1926. Mandat itu diserahkan lantaran Jong Java merupakan organisasi besar dan masyhur. Sebagai wakil, ditunjuk perwakilan organisasi yang tidak kalah berpengaruhnya, yakni Jong Sumatranen Bond yang diwakili Djamaluddin Adinegoro.

Dari kepemimpinan JJ dan JSB inilah keluar rumusan pertama sumpah pemuda. Yang menjadi perdebatan sengit di ujung penentuan itu adalah penyebutan “bahasa Melayu” sebagai bahasa persatuan. Usulan itu datang dari Mohammad Yamin dari JSB.

M. Tabrani tidak setuju. Sebagai wakil Jong Java dengan semboyan “Jawa Raya”, mestinya Tabrani memperjuangkan bahasa Jawa sebagai bahasa utama. Atau, bahasa Madura sekalian yang menjadi lidah ibunya. Namun, tidak.

Tabrani menandaskan bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. Ia disokong oleh Sanusi Pane dari Jong Batak yang pada 1926 sudah mengeluarkan buku antologi puisi Pantjaran Cinta. Walau masih kabur bayangan corak dan bentuk “bahasa Indonesia” yang diusulkan Tabrani itu, paling tidak ia ingin menegaskan bahwa bahasa itu adalah bahasa baru yang ditimba dari macam-macam bangsa. Termasuk, pondasinya dari bahasa Melayu. Apalagi, bahasa Melayu pasar telah menjadi lingua franca dalam penulisan di koran-koran.

Mau tidak mau, Yamin mengalah. Apalagi, yang mengusulkan adalah dari perwakilan Jong Java yang mestinya mengajukan bahasa dari bangsa dengan pemakai terbesar saat itu, yakni bahasa Jawa. Namun, itu tidak dilakukan. Sebab, semangat kongres berporos pada pencarian titik temu, titik satu memperkuat solidaritas sebagai bangsa jajahan. Salah satunya adalah penciptaan bahasa baru.

Jika selama ini predikat sebagai ahli bahasa kerap disematkan kepada Sutan Takdir Alisjahbana yang memimpin majalah Poedjangga Baroe, tak boleh diabaikan upaya jurnalis asal Madura ini. Pada momentum sejarah yang sangat krusial dan penting, ia tampil mempersembahkan salah satu tiang penting sebuah bangsa baru yang bernama bahasa. Boleh dibilang, rumusan nomor tiga dari keputusan Kongres Pemuda I dan kemudian dikukuhkan kembali di Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 sepenuhnya milik M. Tabrani.

Pada usia 22 tahun (1926) atau 24 tahun (1928), M. Tabrani telah tampil sebagai seorang cendekia. Juga, sosok yang lihai. Penuh siasat.

Dalam sekali hap, kiranya kalimat panjang Y.B. Manguwijaya ini menggambarkan generasi Tabrani dkk. ini yang disebut sebagai generasi 28. Ini kutipannya:

“… maka semakin kagumlah hamba ini kepada generasi 28. Sangat cerdas dan arif mereka itu: dalam cara berpikir, menganalisa kekuatan diri dan lawan, dalam mengariskan strategi dan taktik, memisahkan mana perkara yang esensiil mana yang cuma accindentil-insidentil atau emosionil belaka, dalam menemukan urut-urutan prioritas, urgensi dan tahap-tahap langkah, dalam mengidentifikasi mana yang menghambat persatuan dan mana yang mendukung aksi bersama antar suku, golongan, ras, agama, dsb … yang patut dicatat adalah sikap mereka, yang tidak pernah merengek-rengek minta restu ‘bapak’. Dari pihak lain para orangtua waktu itu banyak yang memberi restu, walaupun banyak juga yang tidak setuju anak-anak mereka berpolitik dan meresikokan karier. Generasi 26-28 yakin akan sesuatu, dan tanpa menengok ke atas atau ke kiri-kanan, mereka menjalankan keyakinan itu. Dengan atau tanpa restu kaum tua”.

Kecendekiaan atau dalam bahasa Romo Mangun “kecerdasan” semacam itu terasah di medan pergerakan dan jurnalistik. Saat itu, bergerak dalam suatu organisasi pergerakan dan jurnalistik adalah jalan para cendekiawan untuk menyatakan gagasan juang dan ideal dan sekaligus mengutarakan pandangan kepada khalayak umum.

Apalagi, ia menjadi “anak bawang” di bawah didikan langsung Agoes Salim yang tampil sebagai seorang ahli debat dan singa mimbar dengan retorika yang memukau. Orang-orang dari Jong Islamieten Bond, misalnya, menjadikan Salim yang seorang tokoh pergerakan dan jurnalis mumpuni sebagai suhu, sebagai guru.

Keyakinan yang serius terhadap jurnalistik sebagai jalan perjuangan memenangkan pendapat dan melawan diskursus kolonial itulah yang menjadikan Tabrani meninggalkan Indonesia sehabis peristiwa 28 Oktober itu. Ia tidak melihat jalan jurnalistik alakadarnya. Ia kemudian ke Jerman. Tepatnya di Berlin dan Koln. Di sana, ia  belajar dunia jurnalistik dan ilmu persuratkabaran secara akademis.

Sepeninggal Tabrani ke Jerman itulah banyak perubahan signifikan terjadi. Jong Java akhirnya melepaskan cita-cita “Jawa Raya”-nya, bergabung dalam fusi besar bernama “Indonesia Muda”. Sebuah perhimpunan yang merupakan gabungan dari organisasi-organisasi “kedaerahan” yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa “28 Oktober”.

Sementara, M. Tabrani terjun secara full time di dua arena setelah bersekolah selama dua tahun di benua biru: pergerakan dan jurnalistik. Di Pamekasan, ia mendirikan Partai Ra’jat Indonesia (PRI). Nama korannya Ra’jat.

Bersama PRI dan Ra’jat, Tabrani membikin sekolah murah. Semacam kursus. Namanya Institut Zelfontwikkeling Pamekasan. Kursus malam ini dilangsungkan di gedung Sekolah Kita yang meliputi mapel: (1) Algemene ontwikkeling (pengetahuan umum); (2) Journalistiek; (3) Bahasa Belanda; (4) Moedeme taken (bahasa Inggris, Prancis, Jerman); (5) Mesin tulis; (6) Stenografi; dan (7) Boekhounding atau Ilmu Dagang.  

Mengapa murah? Tabrani bilang, “Peratoeran oeang entree tidak ada, sedang oeang sekolah amat rendah, menoeroet kekoeatan pergaoelan kita zaman soesah ini.”

Demikianlah, dari Pamekasan ia kembali ke Batavia. Di sana, ia mempimpin Harian Pemandangan selama satu dekade lebih, dari 1936 hingga 1952. Ini bukan sejenis koran “nyiur melambai” atau berisi pelajaran menggambar mooi indie. Ini koran yang diisi penulis-penulis yang tumbuh dari tradisi pergerakan yang kuat. Sebut saja Sukarno, Mohammad Hatta, Otto Iskandar Dinata, Agoes Salim, M. Soetardjo, Mohammad Jamin, dan seterusnya.

Salah satu yang teringat dari Tabrani saat di Pemandangan ini adalah geger geden saat ia memaki tanpa ampun Mohammad Husni Thamrin karena tak ada tindakan apa pun yang dilakukannya sebagai “Abang Kita” kala ketua umum Gerindo, Amir Sjarifoeddin, ditangkap. Tidak main-main, ia menulis lima artikel panas dari 12 hingga 20 Juli 1940.

Secara profesi, ia memanggul tanggung jawab menjadi ketua organisasi jurnalistik yang turut didirikannya, Persatuan Djurnalis Indonesia (Perdi). Organisasi ini berdiri jauh sebelum PWI berdiri. (*)

BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tag

Baca Juga

Artikel Terkini

SEMENTARA ITU...

Perluas Manfaat Makan Bergizi Gratis, Mas Ipin Libatkan Kantin Sekolah, Wali Murid hingga PKK

TRENGGALEK – Pemerintah Kabupaten Trenggalek melaksanakan uji coba program makan bergizi gratis di dua sekolah ...
KRONIK

Hari Yulianto Gelar Acara Nribun Bareng Timnas Indonesia Vs India, Skor 4-0

SIDOARJO – Seratusan anak-anak muda tergabung dalam Sahabat Hari Yulianto turut meramaikan laga Timnas Sepakbola ...
LEGISLATIF

Agar Tak Bersinggungan dengan Nelayan, Zulham Minta Kaji Ulang Titik PLTS di Karangkates

MALANG – Anggota Komisi 4 DPRD Kabupaten Malang, Zulham Akhmad Mubarrok mengatakan, rencana pembangunan Pembangkit ...
LEGISLATIF

Remaja Putri Berkelahi Gegara Ejekan di TikTok, Komisi D DPRD SUrabaya Ingatkan Ini

SURABAYA – Insiden perkelahian antar remaja putri gegara saling ejek saat live TikTok, Selasa (28/1/2025), menuai ...
SEMENTARA ITU...

Gus Ulin Terpilih Aklamasi Pimpin GP Ansor Ngawi

NGAWI – Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Ngawi, Helmi Masulin, resmi terpilih secara aklamasi sebagai ...
KABAR CABANG

Perkokoh Persatuan di Tengah Keberagaman, Banteng Surabaya Rayakan Imlek di Kantor DPC

SURABAYA – DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya menggelar perayaan Imlek 2025 di kantor DPC dengan pertunjukan ...