SURABAYA– Calon Wakil Wali Kota Surabaya, Whisnu Sakti Buana mengapresiasi dan mendukung penuh upaya-upaya menjaga dan mempertahankan tradisi budaya di masyarakat. Whisnu menilai, upaya itu sangat penting dilakukan di era globalisasi yang lebih menonjolkan sikap individualis.
Menurut Whisnu, globalisasi yang terjadi saat ini membuat masyarakat terkotak-kotak, dan egosentrisme lebih muncul. Karena itu, dia menegaskan, sangat penting menumbuhkan dan memelihara nilai-nilai kearifan lokal.
“Seperti membudayakan semangat gotong royong dan kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat,” tandas Whisnu, usai mengikuti Seminar dan Bedah Buku “Kearifan Lokal: Pancasila” di SMA St Louis 1 Surabaya, Sabtu (17/10/2015).
Pria yang akrab disapa Mas WS ini menegaskan, budaya gotong royong merupakan modal dasar bagi warga Surabaya untuk menumbuhkan kebersamaan. “Dengan kebersamaan itulah, kita bisa bersatu,” tuturnya.
Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya itu mengungkapkan, banyak momentum yang bisa dijadikan sebagai upaya memelihara keguyuban dan nilai kearifan lokal. Seperti tradisi sedekah bumi yang masih hidup di tengah masyarakat.
“Dalam tradisi ini, kearifan lokal yang muncul. Seperti kita menjaga dan tidak merusak lingkungan sekitar, serta menghargai hasil bumi,” terangnya.
Alumnus Teknik Sipil Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya ini menambahkan, filosofi budaya yang masih terjadi di Kota Pahlawan itu yang harus ditanamkan pada generasi muda. Apalagi, nilai–nilai kearifan lokal tersebut selaras dengan butir-butir Pancasila.
Cawawali yang pada Pilkada Surabaya 2015 berpasangan dengan Cawali Tri Rismaharini itu menambahkan, wahana yang paling sederhana dalam menanamkan nilai Pancasila adalah melalui lingkungan pendidikan. Dia menilai penting penanaman nilai ideologis bangsa di lingkungan pendidikan, karena para siswa adalah generasi penerus bangsa.
“Generasi penerus harus tahu betul ideologi bangsa seperti apa,” ujarnya.
Mantan Wakil Wali Kota Surabaya itu menambahkan, meski kurikulum merupakan kewenangan pemerintah pusat, namun memunculkan muatan lokal juga diperlukan. Seperti pada hari tertentu di sekolah, digunakan bahasa Jawa, dan itu, sebutnya, sudah berjalan di beberapa sekolah negeri.
Seminar dan bedah buku tidak saja dihadiri kalangan pelajar, mahasiswa, LSM dan sejumlah tenaga pengajar dari perguruan tinggi di Surabaya. Dalam seminar yang berlangsung hingga hampir 3 jam itu juga dihadiri beberapa politisi.
Sementara itu, Prof. Dr. Armada Riyanto, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Widya Sasana Malang, yang juga penulis buku “Kearifan Lokal: Pancasila” mengakui, nilai-nilai budaya luhur semisal kebersamaan, agak terkikis sebagai dampak kemajuan.
“Sebagian masyarakat, terutama kaum muda gampang lupa dengan apa yang disebut tradisi,” tegasnya.
Ketua Asosiasi Filsuf Katolik Indonesia ini mengakui, Surabaya dianugerahi kemajuan ekonomi dan kebudayaan yang luar biasa, seperti ludruk dan lainnya. Dosen Program Doktor Universitas Airlangga Surabaya itu juga mengapresiasi tradisi budaya di perkampungan Kota Pahlawan.
Di area itu, menurutnya relasi keakraban terjalin luar biasa. “Kampung sebagai relasi untuk menciptakan keakraban. Di situ menerima perbedaan, toleran dan membantu warga yang menderita,” tuturnya. (goek)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS