Di sana gunung, di sini gunung, di tengah-tengahnya pulau Jawa. Yang sana meletus, yang sini meletus, semuanya menderita. Inilah pantun bencana yang harus kita ingat bersama. Tidak ada satu pun yang bisa menduga kapan bencana alam datang melanda bangsa Indonesia. Sebagai negara yang memiliki gunung api aktif terbanyak di dunia, masyarakat Indonesia dituntut waspada dan bersiap diri mengantisipasi risikonya. Setiap terjadinya letusan gunung api, selalu terkandung pelajaran berharga betapa pentingnya membuka jalan baru. Jalan baru yang menguji cinta kita. Cinta sesama anak bangsa. Cinta sesama makhluk Sang Pencipta.
Banyak mata terbelalak menyaksikan letusan Gunung Semeru. Letusannya tanpa diduga. Yang kita tahu bahwa sejak Januari lalu Gunung Semeru ‘masuk angin’. Satu dua kali menyemburkan awan panas. Lalu, diam membisu lama sekali. Hingga akhir tahun ini tiba-tiba meletus. Letusan Mahameru, gunung tertinggi di pulau Jawa, serasa membangkitkan dualitas cinta.
Cinta pertama setidaknya dimulai dari perjalanan sejarahnya yang agung dan mulia. Gunung Semeru sejak dulu dikenal sebagai pertapaan favorit para dewa. Pandawa lima hingga Empu Barada kerap mengunjungi Semeru demi mempertajam kedamaian hati mereka. Soe Hok Gie, demonstran ternama keturunan Tionghoa, juga paham sejarahnya. Ketika sejarah awal Orde Baru (Orba) berkuasa, dia lebih memilih pergi ke Semeru. Dia pun meninggal di sana, tepat 16 Desember 1969, 52 tahun lalu.
Tahun 80-an, cinta berikutnya mulai tumbuh melalui jalur budaya populer. Ketika masa-masa radio memasuki masa-masa keemasannya, teater pikiran melalui kisah Saur Sepuh mulai mengudara. Kisah ini berasal dari sejarah para pendekar di masa Hayam Wuruk memerintah Majapahit. Pendekar di masa ini selalu pergi ke Semeru untuk memperdalam ilmu sakti. Sukses di radio, kisah Saur Sepuh merambah ke dunia sinematik. Saur Sepuh banyak diputar di gedung bioskop perkotaan atau bioskop keliling dari desa ke desa. Bersamaan dengan itu, Gombloh menuliskan estetika Semeru dalam lagu bergenre balada, “Ranu Pane”. Lagu ini pun meledak di pasaran. Sekitar satu dekade berikutnya, Dewa 19 menulis lagu yang sama bergenre pop rock, judulnya “Mahameru”. Juga meledak dan menjadi lagu ‘kebangsaan’ para pendaki gunung di Indonesia.
Dari jalur populer tersebut istilah Mahameru bukan lagi sebatas produk alam. Melainkan telah bertranformasi menjadi karya seni populer. Di dalamnya telah menginspirasi dan memberikan banyak pelajaran bagi banyak orang. Agar generasi penerus bangsa cinta pada kekayaan negerinya, film 5 Cm pun diproduksi. Film yang berkisah anak-anak keluarga kaya di Jakarta ini memberi satu pesan penting. Yakni, cintailah bangsamu sebagaimana kamu mengejar cita-citamu setinggi puncak Gunung Semeru.
Sayang, kurikulum pendidikan kita tak banyak memberikan ruang bagi kehidupan masyarakat pegunungan. Jangankan pegunungan, kehidupan masyarakat pesisir dan pedesaan juga kurang diulas tajam. Padahal, pegunungan, kemaritiman, dan pedesaan merupakan urat nadi kehidupan bangsa ini. Nyaris semua pelajaran di dalam kurikulum pendidikan kita berisi tumpukan gaya hidup masyarakat perkotaan atau industrial. Kurikulum pendidikan industrial ini berorientasi tenaga kerja dan aparatus teknis (Hamilton, 1990). Artinya, peserta didik dan pendidik diarahkan cara melelehkan apa pun yang padat agar bernilai produksi (McLaren, 1995).
Upaya pendidikan yang melelehkan itu kita bisa berkaca pada kasus Salim Kancil. Pada akhir tahun 2015 silam, si Kancil menolak keras penambangan pasir ilegal di Lumajang. Penambangan pasir ini membuat lahan pertaniannya yang menjadi lahan hidup sehari-harinya ikut terdampak alias rusak. Penolakan si Kancil ini harus berhadapan segerombolan mafia sumber daya alam pegunungan. Mulai dari aparatus formal di tingkat kabupaten hingga desa menjadikan si Kancil sebagai mangsa struktural. Dengan melibatkan kelompok preman, akhirnya si Kancil tewas mengenaskan.
Padahal, bagi masyarakat pegunungan, pesisir, hingga agraris sosok si Kancil, baik di Lumajang atau di tempat yang belum terungkap, adalah sosok pahlawan. Tetapi, ide kepahlawaan dalam teks-teks pelajaran didominasi sosok-sosok kemiliteran atau kerajaan. Kalau kita memperhatikan kata Gus Mus, pahlawan rakyat adalah petani dan nelayan. Tanpa mereka, para pejuang di masa kolonial kemungkinan besar akan menderita kelaparan. Lalu, mengapa di zaman pascakolonial dan kemerdekaan justru mereka sering terdengar mengalami kelaparan dan penderitaan ?
Karena itu, pendidikan kita sekarang membutuhkan pendidikan berbasis masyarakat alam dan kelokalan. Bukan berpusat pada Jakarta, metropolitan, atau masyarakat industrial. Itu sebabnya, di mata dunia negara kita disebut sebagai negeri khatulistiwa. Bahkan, beberapa sejarawan barat pun menyebut Indonesia sebagai setetes surga yang jatuh ke bumi.
Untuk itu, setidaknya ada lima jalan hal yang perlu dibuka supaya membangkitkan pendidikan berbasis masyarakat alam Indonesia. Pertama, setiap agenda perumusan kurikulum pendidikan harus melibatkan pakar-pakar masyarakat alam. Entah itu sosiolog, antropolog, filsuf, sastrawan, sejarawan, seniman, hingga budayawan. Sehingga, perumusan kurikulum tak selalu terpusat di tangan birokrat, pemodal, atau elite politik. Kedua, memberikan otonomi pemerhati, pakar, dan praktisi pendidikan di tingkat lokal. Mereka yang sangat paham kondisi alam dan apa yang dibutuhkan masyarakatnya.
Ketiga, di setiap daerah harus dibangun pusat ilmu pengetahuan lintas disiplin. Pengetahuan lintas disiplin ini menjadi dasar akademik bagi perumusan kebijakan. Sebatas pengetahuan saya, pusat studi ilmu pengetahuan itu masih terbatas di kota besar. Kampus mitranya juga cenderung pilih kasih. Terkesan menutup mata pada kampus pinggiran. Tampak mengutamakan narsisisme sektoral.
Keempat, aparatus kebencanaan tentu bukan satu-satunya penentu jalan keluar. Dibutuhkan pelibatan komunitas peduli lingkungan, supaya program bantuan kemanusiaan tak selalu terhalang prosedural berjenjang dan berliku-liku. Kelima, memasukkan kajian budaya (cultural studies) dalam kurikulum pendidikan. Upaya ini sudah banyak dilakukan di negara maju, seperti Inggris, Perancis, Amerika, dan sebagainya. Melalui ahli kajian budaya, di sana berdiri situs kebencanaan dan kealaman. Seperti, museum, sinematik, karya seni, monumen, teks-teks teologi pembebasan ekologis, komunitas profesional, dan lain sebagainya.
Membuka kelima jalan cinta di atas memang tak bisa dikebut semalam. Tetapi, bagi siapa saja yang mencintai masyarakat alam dan masa depan bangsa ini, maka jalan baru itu mampu kita buka. Sebagai langkah awal, kita mulai dari rasa cinta kita terhadap korban pasca letusan Mahameru. Lalu, bertanyalah pada hatimu, kawan!
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS