BEBERAPA bulan lalu, sebelum menginjak kalender 2014, saya sempat deg-degan dengan isu rezim kebohongan. Mereka yang tergabung dalam tokoh-tokoh lintas agama dan aliran, menuding pemerintah (:dalam hal ini Presiden dan seluruh jajaran kabinetnya) melakukan kebohongan publik. Maksudnya, presiden dan para pembantunya hanya bisa bicara, tapi tidak pernah melaksanakan apa yang telah diucapkannya. Saya deg-degan karena kalau itu benar, negara ini di ambang kebangkrutan (kalau tidak kehancuran).
Memasuki tahun 2014, isu yang berkaitan dengan pemerintahan -terutama calon presiden- semakin berjubel: kisruh Hambalang yang nyerempet lingkaran istana, para penerus yang ramai dalam survei, hingga rangkap jabatan yang membuat kita semakin bingung menentukan presiden dan ketua umum partai. Dari sekian isu yang seksi untuk dilihat dari pengalaman saya di pondok pesantren, siapakah calon presiden yang pas untuk negeri ini ke depan?
Presiden (baca pemimpin), dalam pemahaman saya waktu nyantri dulu, menempati urutan nomor tiga sebagai pihak yang mesti “diikuti” -setelah ketundukan pada Allah dan rasulnya. Sedangkan dalam khazanah Madura -lingkungan pondok pesantren saya- pemimpin (rato) menempati urutan keempat untuk ditaati setelah bapak, ibu dan guru. Dari dua referensi ini, saya mengangankan capres kita itu tidak hanya karena KTPnya beragama. Akan tetapi pemimpin itu mampu memahami titah tuhan, meneladani nabi dan mengambil kebijakan demi kemaslahatan umat. Selain itu, capres itu kudu mampu mencerminkan tindak-tanduk untuk menjadi pemimpin (Bapak), pengayom (Ibu) dan dapat dijadikan contoh (Guru).
Referensi lain yang cukup menarik untuk kriteria capres ideal 2014 ini, saya temukan dalam Kitab Emrithi. Dalam mukaddimah (pengantar) karya Syekh Syarifuddin Syekh Syarifuddin Yahya Al-Emrithi ini, terdapat baris yang berbunyi “wannahwu aula awwalan an-yu’lama, idzilkalamu dzunahu lan-yufhama” (baris 9). Terjemahan bebasnya: dan ilmu nahwu itu lebih utama untuk diketahui, karena tanpa itu (:nahwu) perkataan tidak bisa dipahami. Dan dalam saduran bebas saya: dan contoh (nahwu) –bisa juga suritauladan, tingkah laku atau perilaku yang baik lainnya- merupakan hal utama untuk diketahui. Karena tanpa itu, perkataan, anjuran, janji, tak akan dapat dipahami.
Ingatan saya pada baris Emrithi cukup lekang. Karena baris itu selalu dibaca berulang sejak kelas dua MTs hingga kelas 3 SMA. Sedangkan ketertarikan saya untuk mengaitkannya dengan capres 2014, terletak pada keinginan saya untuk membuat semacam catatan atau kriteria capres ideal berdasarkan kitab-kitab yang saya geluti di pondok. Jadilah, tabel itu saya isi -sebagiannya- dengan baris emrithi itu: pemimpin itu harus paham nahwu. Bisa memberi contoh. Bukan banyak bicara. Pemimpin itu- seperti iklan rokok: talk less do more. Kenapa?
Pertama, saya ingin kembali pada persoalan rezim kebohongan. Gara-gara presiden banyak pidato dan janji, kita tidak peduli: mana janji yang diucapkan sepenuh hati dan mana janji sekadar ngapusi. Saking tidak pedulinya, kita anggap semua pidato itu mesti ditepati. Kalau demikian, isu bohong yang dilontarkan oleh para cendekiawan agama mungkin ada benarnya. Kalau pemerintah selama ini hanya selalu berkata-kata; tanpa tindakan yang jelas dan nyata, mungkin para penuduh itu memang tidak memahami apa yang terkandung dalam dawuh penguasa tersebut. Apalagi dalam kenyataannya memang banyak kata-kata yang tidak klop dengan tindak-tanduknya.
Kedua, saya akan memilih capres berdasarkan jejak rekam hidupnya. Seperti diuraikan Ki pengarang Emrithi di atas, tanpa contoh segala perkataan tidak akan terpahami. Bagamana capres itu bisa berbicara kesejahteraan kalau selama ini –maksud saya selama sebelum mau mencalonkan diri jadi capres- tindak-tanduknya menimbulkan keresahan. Bagaimana capres itu bisa menjanjikan negara adil-makmur-sejahtera, kalau di masa lampau ia terlibat dengan penculikan terhadap aktivis kebebasan? Bagaimana saya akan memilih capres yang selama jadi kebijakan impor garamnya membuat petani garam kalang kabut? Bagaimana saya akan memilih dia, kalau selama jadi menteri namanya banyak dikaitkan dengan isu korupsi?
Ketiga, saya ingin mengurangi kebingungan di tengah tumpukan buku-buku biografi dan motivasi presiden dan calon penerusnya: SBY, Jokowi, Jusuf Kalla, Mahfud MD, Dahlan Iskan, dan lainnya. Saya bingung dengan nuansan melodrama atau heroik buku-buku tersebut. Bahkan sebagian buku-buku tersebut lebih banyak kontrovesinya daripada pendidikannya.
Anehnya, sebagian buku-buku tersebut sering diseminarkan. Seolah-olah dengan buku dan seminarnya, rakyat jadi paham akan jejak rekamnya. Seolah-olah dengan buku mereka berharap rakyat langsung kepincut dengan raut lucu atau riak keluhnya.
Sayangnya, buku bukanlah juru selamat. Memang, Kafka menandaskan kalau buku semisal kapak es. Dengan kapak es inilah, segala macam batu kebandelan dan kebodohan dapat dipecahkan. Tapi sebagai kapak es pula, buku dapat dijadikan membongkar masa silam yang selama ini ditutup-tutupi. Buku -semisal kitab-kitab kuning di pondok yang membutuhkan ilmu nahwu untuk memahaminya- adalah ruang di mana perdebatan makna berjumpalitan. Dan di ruang kenyataanlah, perdebatan itu akan menemukan kebermaknaannya.
Sekali lagi, berdasarkan baris kesembilan nadloman emrithi di atas, saya ingin menandaskan bahwa capres ideal, itu orang yang bisa menciptakan nahwu. Bukan sekadar buku. Apalagi kata-kata. Karena tanpa ilmu nahwu, kalam (perkataan atau gagasan) nya terasa hambar. (*)
Oleh: Salamet Wahedi, Alumni Pondok Pesantren Mathali’ul Anwar dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sastra UGM Yogyakarta. Email: salametwahedi@gmail.com
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS