SURABAYA – Wacana Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui Dinas Kesehatan untuk menonaktifkan KTP dan BPJS kesehatan pasien TBC yang mangkir berobat menuai banyak sorotan. Salah satunya dari DPRD Surabaya.
Sekretaris Komisi D DPRD Surabaya, Arjuna Rizki Dwi Krisnayana, menyebut bahwa kebijakan itu berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM).
“Kalau menurut saya kebijakan pemkot yang memblokir KTP pasien tuberkolosis (TBC) yang mangkir berobat itu memang mencoreng hak asasi manusia,” ujarnya, Jumat (2/5/2025).
Menurutnya, persoalan TBC di Surabaya tidak bisa diselesaikan dengan solusi instan seperti penonaktifan KTP maupun BPJS pasien. Hal ini justru berpotensi menimbulkan masalah baru.
“Kita sampaikan juga hal seperti ini jangan sampai terjadi, apalagi blokir KTP ini kan perlu diperhatikan. Lebih baik kita bantu bagaimana intinya yang bisa menyebabkan TBC ini, apa kenapa bisa banyak dan menyebar di Surabaya,” tuturnya.
Untuk itu, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Surabaya ini meminta pemkot mengkaji ulang wacana tersebut. Terlebih, nasib warga dipertaruhkan.
Dinas Kesehatan Surabaya mencatat estimasi jumlah kasus TBC mencapai 16.000 orang. Namun baru sekitar 2.500 kasus yang berhasil ditemukan dan dilayani.
“Tapi blokir ini kabarnya cuma wacana dan sepertinya tidak dilaksanakan. Kita sudah sampaikan itu, tapi dari pemkot nanti ditunggu bagaimana menjelaskannya,” tuturnya.
Dibanding penonaktifan KTP, lanjutnya, pengendalian TBC perlu tracing mendalam. Termasuk sosialisasi ke masyarakat agar tak menganggap TBC sebagai aib sehingga cepat mendapat penanganan.
“Untuk masyarakat, jika terkena TBC tidak usah takut, segera ke layanan kesehatan terdekat agar segera dilayani. Karena kalau dibiarkan akan bahaya untuk keluarga terdekat,” terangnya.
“Kalau solusi kami, kita sudah kerja sama dengan Dinas Kesehatan juga. Kita tracing di mana saja yang paling banyak dan kita sediakan sumber yang baik, di puskesmas terutama,” tandasnya. (nia/set)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS