
JAKARTA – Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menegaskan, hingga saat ini partainya belum menentukan sikap terkait wacana penambahan pimpinan MPR periode 2019-2024.
Menurutnya, seluruh sekjen parpol Koalisi Indonesia Kerja (KIK) memang telah membahas soal wacana penambahan pimpinan MPR. Namun PDIP berpijak pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3).
Hasto memastikan, koalisi belum membuat keputusan apakah setuju atau tidak terhadap usulan penambahan itu. Seluruhnya masih berkutat pada pembahasan format kerja sama di antara sesama anggota KIK.
“Sebenarnya pertemuan para sekjen membahas membuat berbagai opsi. Sifatnya belum keputusan. Sifatnya untuk membuka sebuah ruang di dalam mencari format terbaik dalam kerja sama Koalisi Indonesia Kerja,” jelas Hasto kepada media, Rabu (21/8/2019).
“Dengan seluruh opsi-opsi yang kami bahas bahwa berpolitik itu harus sesuai rule of the game dan pijakannya itu adalah UU MD3 dan penataan susunan pimpinan DPR dan MPR harus senapas dengan apa yang disuarakan rakyat dalam pemilu,” tambah dia.
Di dalam Pasal 15 Ayat 1 UU MD3, tertulis bahwa pimpinan MPR terdiri dari satu orang ketua dan tujuh orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR. Pasal itu menyebabkan pimpinan MPR saat ini terdiri dari delapan orang.
Namun, pada Pasal 427 B dijelaskan bahwa Pasal 15 Ayat 1 tersebut hanya berlaku sampai berakhirnya masa keanggotaan MPR dan DPR hasil Pemilu 2014.
Dalam pasal 427C Ayat 1 huruf a dijelaskan, susunan mekanisme pemilihan pimpinan MPR masa keanggotaan MPR setelah hasil pemilihan umum tahun 2019 dilaksanakan dengan ketentuan bahwa pimpinan MPR terdiri atas satu orang ketua dan empat orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR.
Hasto mengatakan pihaknya tidak ingin masyarakat beranggapan penataan pimpinan MPR hanya menjadi sekadar ajang bagi-bagi jabatan. Oleh sebab itu, UU MD3 akan menjadi pijakan dalam membahas pimpinan MPR.
“Bahkan di dalam pembahasan kita kemarin ya pijakan kita UU MD3 terlebih dulu. Karena berpolitik kan mengacu pada UU. Jangan juga kemudian terbangun sebuah persepsi bahwa dalam upaya penataan pimpinan (MPR) itu hanya sekadar bentuk-bentuk bagi kursi padahal UU telah mengatur hal itu,” jelasnya. (goek)