Hidup dalam kemelaratan membuat bocah Sukarno memilih permainan tak berbayar.
PADA tahun 1907, saat Sukarno berusia 6 tahun, ia tinggal di Mojokerto. Sebelumnya, saat usia kanak-kanak, ia tinggal di Tulungagung bersama kakek dan neneknya.
Kepindahan Sukarno ke bumi Majapahit, Mojokerto, lantaran ayahnya Raden Soekemi berpindah tugas mengajar dan menjadi mantri, semacam kepala sekolah di Inlandsche School. Sukarno pun bersekolah di sini.
Sekolah ini disebut juga Tweede School atau Sekolah Ongko Loro, seperti data dikutip dari Pemerintah Kota Mojokerto. Sekolah tingkat dasar bagi anak-anak pribumi. Saat ini, sekolah tersebut menjadi SDN Purwotengah, di Jl Taman Siswa Mojokerto.
Bung Karno juga sempat mengenyam pendidikan di Europesche Lagere School (ELS) pada tahun 1911. Sekarang, sekolah tersebut menjadi SMPN 2 Kota Mojokerto, di Jalan A Yani Kota Mojokerto.
Sembilan tahun menghabiskan masa remajanya di rumah sewa, Sukarno tinggal bersama bapak dan ibunya, serta kakak perempuannya, Karmini.
“Ketika aku berumur enam tahun, kami pindah ke Mojokerto. Lingkungan tempat tinggal kami kumuh,” kata Sukarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, karya Cindy Adams.
“Keadaan para tetangga kami tidak berbeda dengan lingkungan itu sendiri, namun mereka selalu memiliki uang untuk membeli pepaya atau permen. Tetapi aku tidak. Tidak pernah.”
“Kami begitu melarat sehingga sering tidak bisa makan nasi satu kali dalam sehari,” ucap Bung Karno.
Sukarno menggambarkan masa mudanya begitu memprihatinkan. Bahkan ia tak bisa bermain petasan seperti teman-temannya, saat lebaran. Sebab tak ada uang untuk membeli.
“Dapatkah orang mengetahui perasaanmu sebagai bocah kecil, ketika semua kawan-kawanmu entah dengan cara bagaimana dapat membeli petasan seharga satu sen itu, dan kau tidak? Kau akan merasa sangat sedih.”
Dijuluki Jago
Karena kemelaratan, Sukarno kecil memilih permainan yang tidak membutuhkan uang. Seperti bermain menggunakan daun lebar dijadikan seperti kereta luncur. Satu anak duduk pada daun tersebut bak penumpang, satu lainnya menyeret daun bak kusir.
Sukarno juga senang bermain di sungai. “Aku menjadikan sungai sebagai kawanku, dimana anak-anak miskin dapat bermain dengan cuma-cuma.”
Selain itu, Sukarno juga bermain sumpitan dari buluh panjang. Pelurunya dari biji kacang.
Berbagai permainan yang dilakukan Sukarno kerap diikuti teman-temannya. Ia menjadi semacam pemimpin kelompok, atau setidaknya trendsetter.
baca juga: Di Tulungagung, Bocah Sukarno Diajari Sarinah Ihwal Mencintai Rakyat Kecil
“Pada hari ulang tahunku ke-dua belas, aku sudah mempunyai kelompok. Dan aku memimpin kelompok ini.”
“Kalau Karno bermain jangkrik di tengah debu alun-alun Mojokerto, yang lain juga mengikuti. Kalau Karno mengumpulkan perangko, mereka juga melakukannya. Mereka menamakanku jago.”. (hs)
Foto: Soekarno sering diantar naik delman saat berangkat sekolah di Inlandsche School.
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS