JAKARTA – Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan Said Abdullah mengatakan, usulan kepala daerah dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) perlu dikaji mendalam.
Kajian mendalam itu diperlukan agar sebuah kebijakan menjawab akar masalah dan didasarkan pada kepentingan publik lebih luas.
“Jangan sampai kita membuat kebijakan berdasarkan selera politik sesaat,” kata Said dalam keterangannya, Senin (23/12/2025).
Dia menyampaikan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung yang dijalani saat ini memang disertai sejumlah masalah. Seperti ongkos pilkada yang dikeluarkan kandidat sangat tinggi.
Baca juga: PDI Perjuangan Tolak Wacana Pilkada Melalui DPRD, Minta Semuanya Fokus Urus Bencana
Namun untuk mengurai masalah ongkos biaya tinggi pilkada, menurutnya, tidak serta-merta bisa diselesaikan dengan pilkada lewat DPRD, yang merupakan jumping conlucsion atau mengambil kesimpulan terburu-buru.
Said menegaskan esensi pilkada langsung merupakan keterlibatan langsung dalam memilih pemimpin di daerah, sehingga jika diganti DPRD maka pemilihannya diwakilkan oleh DPRD.
“Langkah ini bisa membengkokkan aspirasi rakyat di daerah, karena bisa jadi antara kepentingan DPRD dengan rakyat atas figur kepala daerah bisa berbeda,” sebutnya.
Untuk mengatasi ongkos pilkada langsung yang mahal, politisi yang juga Ketua Banggar DPR RI itu menyarankan bisa dilakukan revisi Undang-Undang (UU) tentang Pilkada dengan memperkuat penegakan hukum atas politik uang.
Dia menyarankan pembenahan hukum, dengan sistem peradilan pidana alias criminal justice system dalam konteks pelanggaran hukum pemilu, yang didominasi politik uang.
Untuk itu, diharapkan pula penguatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), yang harus memiliki aparat penyidik independen atau bisa melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) khusus dalam penanganan politik uang.
Dengan demikian, sambung Said, pihak yang menerima dan memberi politik uang bisa dikenakan sanksi pidana lebih berat dan kandidatnya dibatalkan pencalonannya.
Pada saat yang sama, dirinya menilai perlu ada peradilan ad hoc khusus untuk penanganan politik uang di setiap daerah. KPK dan Bawaslu bisa melibatkan para akademisi dan praktisi hukum sebagai penyidik ad hoc dalam penanganan politik uang.
“Karena pilkada dan pemilu serentak, maka politik uang bisa berlangsung masif, sistematis, dan serentak. Oleh sebab itu, perlu aparatur yang juga kredibel dan berjumlah banyak,” ujarnya.
Dia berpendapat berbagai langkah tersebut bisa menimbulkan efek jera, baik bagi pemberi maupun penerima politik uang. Sehingga peluang kandidat memenangkan pilkada dengan biaya murah peluangnya lebih besar.
Di sisi lain, Said mengingatkan masyarakat pun perlu diberikan edukasi. Bahwa bahwa menerima politik uang merupakan tindak pidana, merusak demokrasi, serta menghambat peluang daerah mendapatkan pemimpin yang baik, berintegritas, dan jujur.
Maka dari itu, sambungnya, semua pihak, penyelenggara pemilu, perguruan tinggi, organisasi, dan para tokoh sosial, perlu menggelorakan voter education, yakni mendidik pemilih cerdas.
Said meyakini apabila berbagai langkah tersebut dijalankan serius dan berkelanjutan, persoalan pilkada mengeluarkan ongkos mahal bisa diantisipasi.
“Tentu ini bukan bim salabim sekali jadi, butuh proses, dan kami optimistis hal itu bisa berjalan dengan baik. Kuncinya tentu kita semua, para pemimpin politik, tokoh masyarakat, akademisi, budayawan, aktivis LSM, semuanya memiliki komitmen yang sama membangun demokrasi di daerah,” tutur Said. (goek)