Oleh Mohamad Guntur Romli*
SETIAP kali ada kunjungan warga Indonesia ke Israel, nama Gus Dur selalu disebut. Baik disebut secara sengaja: mereka yang melawat ke Israel berdalih mengikuti langkah Gus Dur, atau karena kunjungan Gus Dur ke Israel tahun 1994 itu memang momen yang sangat bersejarah, sehingga mudah dirujuk sebagai konteks historis dalam setiap kejadian lanjutan.
Namun yang harus dicamkan, kunjungan Gus Dur pun pada tahun 1994 harus dilihat konteks sejarah pada waktu itu. Karena alasan “mengikuti Gus Dur ke Israel” tanpa membaca konteks sejarah saat itu merupakan pembacaan yang ahistoris sekaligus menyesatkan.
Gus Dur datang ke Israel tahun 1994 menjawab undangan dari gelombang perubahan di tubuh elit-elit Israel yang ingin berdamai dan mengakui kemerdekaan Palestina. Gus Dur datang setelah Kesepakatan Oslo tahun 1993 di saat PM Israel saat itu, Yitzhak (Ishaq) Rabin dari Partai Buruh yang kiri dan progresif, menandatangani damai bersama Pemimpin Palestina, Yasser Arafat.
Artinya, Gus Dur datang untuk memperkuat kesepakatan damai tersebut, di mana baik dari kubu Israel dan Palestina sama-sama ingin berdamai dan mengakui kedaulatan masing-masing. Pada tahun kedatangan Gus Dur ke Israel, PM Israel Yitzhak Rabin, Yasser Arafat dan Simon Peres menerima Hadiah Nobel Perdamaian.
Kesepakatan Damai antara Israel dan Palestina memantik kontroversi dan penolakan di internal di kubu masing-masing. Di tubuh Israel, partai sayap kanan Likud menolak Kesepakatan Damai itu. Setahun kemudian PM Israel Yitzhak Rabin ditembak mati oleh warganya sendiri, warga Israel Yahudi fundamentalis ekstrimis, Yigal Amir, yang menentang Kesepakatan Damai antara Pemerintah Israel dengan Pemerintah Palestina. Di tubuh Palestina dan Arab sendiri, Yasser Arafat juga banjir kecaman dan penolakan.
Karena itu, kedatangan Gus Dur ke Israel di momen-momen yang krusial itu, di mana ada pihak-pihak yang ingin berubah, baik di Israel dan Palestina, yang sama-sama ingin damai, tapi ada penolakan-penolakan, khususnya dari internalnya, sampai-sampai nyawa taruhannya seperti yang terjadi pada Yitzhak Rabin yang menjadi martir (bahasa Arabnya: syahid) dalam upaya damai Israel dan Palestina.
Pada konteks saat ini, yang sama-sama kita tahu dan kita saksikan selama berbulan-bulan tentara Israel meluluh-lantakkan Gaza, Palestina, kunjungan apapun ke Israel, apalagi bertemu dengan pemerintahannya tidak bisa berdalih mengikuti langkah Gus Dur, karena perbedaan konteks yang melatarbelakanginya.
Gus Dur mau datang ke Israel karena elit-elit Israel mau menghentikan permusuhan dan perang, sedangkan sekarang elit-elit Israel semakin mengobarkan permusuhan dan perang. Gus Dur datang ke Israel bertemu dengan kubu progresif yang mau berdamai dan mengakui eksistensi Palestina, melalui Partai Buruh saat itu, tokohnya Yitzhak Rabin dan Simon Peres, yang bertolak belakang dengan kondisi Israel sekarang ini, yang dikuasai Partai Likud yang tidak pernah mau berdamai dengan Palestina dan mengakui Negara Palestina. PM Israel saat ini, Benjamin Netanyahu, dikenal sebagai politisi garis keras yang sangat anti Palestina.
Kalau benar-benar mau mengikuti Gus Dur, mau bertemu dengan orang Israel, pastikan mereka adalah kubu yang mau berdamai dan mau mengakui Negara Palestina, bahkan berani ambil resiko dari sikap damai itu, seperti Rabin dulu. Kalau tidak, buat apa? Pertemuan itu hanya menjadi propaganda sepihak dari Israel demi keuntungan mereka saja.
Presiden Israel saat ini, Isaac Herzog, memang masih terafiliasi dengan Partai Buruh, tapi ia hanya sebagai kepala negara. Sistemnya parlementer dengan kepala pemerintahan, terkait kebijakan luar negeri, dalam negeri, militer dan intelijen semuanya ada di tangan Perdana Menteri yang saat ini dipimpin oleh Netanyahu dari Likud.
Karena Israel sekarang dikuasai oleh elit-elit yang tidak mau berdamai dan tidak mau mengakui Palestina, yang selalu acuh tak acuh pada proses perdamaian, yang lebih memilih pemakaian senjata daripada datang ke meja perundingan, maka sikap keras dunia internasional terhadap Pemerintah Israel saat ini harus didukung sepenuhnya. Tekanan dunia internasional harus bisa menekan dan memaksa elit-elit Israel harus datang ke meja perundingan daripada mengerahkan serdadu-serdadu Israel ke medang perang.
Kembali ke judul tulisan ini “Soal Israel, Andai Gus Dur Masih Ada”, tapi karena beliau sudah tidak ada, kita tidak bisa bertanya padanya, tapi dari kunjungan beliau paling tidak ada 2 prasyarat. Pertama, dalam kondisi perdamaian. Dua belah pihak, baik Israel dan Palestina, sama-sama ingin damai, maka kita bisa memberikan dukungan pada upaya damai itu.
Kedua, bertemu dan berdialog dengan pihak-pihak Israel yang memang ingin berdamai dan mengakui Palestina, kelompok-kelompok progresif, pro perdamaian bukan politisi-politisi sayap kanan Israel yang haus darah.
Tanpa 2 prasyarat tadi, maka setiap kunjungan ke Israel hanya akan dimanfaatkan propaganda kubu garis keras Israel demi kepentingan mereka saja.
*Santri Gus Dur, Kader NU dan Kader PDI Perjuangan
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS