SENJA tak menampakkan raut orange-nya, ketika Sabtu (15/2/2014) sore itu dalam bayangan abu erupsi Kelud, saya bersama dua teman –Mbak Sasa dan Mas Arifin, seorang wartawan lokal- memacu kendaraan ke utara Kota Ponorogo. Kami menyusur jalan kecil beraspal kurang lebih sepanjang 9 KM. Selama 20 menit kami menempuh perjalanan untuk menyaksikan acara gajah-gajahan. Sekitar pukul 15.00 WIB kami sampai di Desa Prajegan, Sukorejo, Ponorogo
Sebuah reff lagu “Oplosan” dengan selingan shalawat bertalu-talu, ketika kami memasuki jalan yang baru diaspal. Dari jauh, pengantin cilik berkaca mata hitam tampak bergoyang-goyang di sebuah punggung besar hitam. Di tepi jalan, orang-orang tampak tumpah ruah mengiringi dan mengambil gambar. Beberapa lelaki yang sudah berusia lanjut menari-menari seiring lagu. Empat putri cantik dengan ikat kepala dan kemeja putih lengan panjang berhias di dadanya, serta celana pendek dipadu ikat pinggang, menari gemulai di depan sosok hitam besar: seekor gajah.
Sosok hitam itu terus bergoyang. Talu shalawat dalam reff “Oplosan” terus bergema. Dan orang-orang terus mengaraknya hingga puluhan meter sepanjang jalan Pendowo RT 01-05 Dusun Krajan Setelah mengambil beberapa momen gambar, kami mengaso di warung kopi. Memesan kopi dan sehidang ketela. Dari beranda warung kopi, sambil menikmati kopi dan ketela kami mengikuti goyang-giyul gajah-gajahan dari jauh.
Mas Arifin, pengelola fanspage stempo (Semua Tentang Ponorogo), menuturkan pada saya, bahwa kelahiran seni gajah-gajahan bermula kekalahan “orang-orang santri” dalam pertarungan organisasi reyog. “Dulu ketua reyog di sini orang kiri. Sehingga orang-orang pesantren membuat tandingan seni gajah-gajahan,” tuturnya dengan antusias.
Secara filosofi, seni gajah-gajahan mengandung arti bahwa kekuatan (baca: kekuasaan) yang disalah-gunakan, sebesar apa pun bentuknya, akan terkalahkan oleh kebenaran. Meski kebenaran itu hanya berupa anak kecil.
Ya, gajah hitam besar itu, tutur Mas Arifin, terinspirasi kisah Raja Abrahah yang akan menghancurkan Kakbah dengan menunggangi gajah. Seperti diuraikan dalam Surat Al-Fiil, tentara Gajah Abrahah itu akhirnya dihancurkan oleh batu-batu kecil yang dilemparkan burung Ababil. Dalam seni gajah-gajahan, batu-dan-burung dijelmakan menjadi pangeran kecil penunggang gajah dan para penari putri.
Setelah arak-arakan usai, para pemain gajah-gajahan berkumpul di rumah sekretariat. Kami pun beranjak mengikuti mereka. Di rumah sekretariat itu, kami disuguhi nasi soto. Kami berbincang banyak tentang “silsilah” Seni Gajah Ki Hasan Rifa’i.
Hardi, seorang penyiar radio komunitas TKI GPS FM, yang juga aktif dalam seni gajah-gajahan, bercerita banyak tentang seni gajah Ki Hasan Rifa’i. Seni Gajah Ki Hasan Rifa’i didirikan para aktivis kesenian yang tergabung dalam Komunitas Seni dan Layang Prajegan (Kusayang PRJ). Kegiatan komunitas itu antara lain: menyablon, reog, gajah-gajahan, seni lukis, pahat, membuat pigura, bola voli, layang kreasi aduan hias 3 dimensi.
Nama Ki Hasan Rifa’i, tutur Hardi, diambil dari Masjid Rifa’i dan Masjid Bani Hasan. Ia menjelaskan nama itu diambil untuk mengenang jasa-jasa kedua tokoh tersebut bagi masyarakat Prajegan. Seni gajah-gajahan merupakan seni arak-arakan dengan gajah yang dibuat dari kayu. Gajah ini ditunggangi seorang anak kecil dan diarak beberapa penari. Untuk memeriahkan arak-arakan, seni gajah-gajahan menggunakan alat musik berupa jedor, rebana, kenong, piano, bass, gitar, dan drum remo.
Keberlangsungan komunitas seni gajah-gajahan bergantung pada swadaya masyarakat. keberadaan mereka sepenuhnya dari dan untuk masyarakat. Sejauh ini, belum ada uluran tangan dari pemerintah kabupaten Ponorogo untuk memberikan sumbangan yang nyata bagi tumbuh-kembangnya kesenian gajah-gajahan. Padahal, kalau pemerintah memiliki political will, baik daerah (baca: Ponorogo) maupun pusat, untuk memberikan dukungan terhadap keberadaan kesenian di pelosok daerah, maka akan menambah kekayaan seni Indonesia.
Prestasi yang pernah diraih oleh Komunitas “Kusayang PRJ” antara lain juara II dalam Festival Layang-layang Dajrum 76 tahun 2007 kategori layangan kreasi. Komunitas ini juga pernah mengikuti Festival Layang-layang Se-Asia. Maskot yang cukup menarik dari komunitas ini, adalah layang-layang naga kembar. Layangan dengan ukuran 6 meter dan lebar 3 meter ini, merupakan kreasi unik yang kali pertama di Jawa Timur, maupun di Indonesia. (sw)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS