Oleh Ganjar Pranowo*
PADA Minggu (20/10/2024), bertempat di Gedung MPR, akan digelar agenda kenegaraan pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Peristiwa ini adalah akhir dari proses panjang pergantian kepemimpinan nasional. Transisi pemerintahan tampak berlangsung mulus sehingga setelah kabinet dilantik, pemerintah baru bisa langsung tancap gas bekerja. Tidak perlu lagi diskusi perumusan kebijakan sebab semua sudah dijanjikan kepada rakyat saat kampanye.
Program-program yang ditawarkan tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024 sesungguhnya tak jauh berbeda mengingat masalah yang dihadapi sama, yakni situasi dan kondisi ekonomi, sosial, politik, dan budaya kini dan di sini. Hanya masing masing memiliki perspektif dan pendekatan berbeda sehingga tawaran program tak sama.
Kini, tiba waktunya bagi Presiden Prabowo menjalankan pilihan-pilihan kebijakan yang telah dijanjikan kepada rakyat pada masa kampanye lalu.
Masalah krusial ekonomi.
Menyambut mulai bekerjanya pemerintah baru, perkenankan saya mengingatkan isu ekonomi terlebih dulu karena ini yang langsung menyangkut hajat hidup seluruh rakyat. Saat ini kita menghadapi beberapa masalah krusial: kesenjangan vertikal masih menganga, ketimpangan antardaerah jauh dari ideal, ketahanan pangan kian rentan, sumber energi baru terbarukan belum memadai, kontribusi manufaktur terus menurun, kualitas SDM stagnan, angka penganggaran bertambah, dan lain-lain.
Saya akan fokus pada tiga masalah ekonomi mendasar yang menjadi tan tanganterbesar kita ke depan. Pertama, penciptaan lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi penting, tetapi selama ini kita selalu menempatkannya sebagai variabel bebas yang mengabaikan penciptaan lapangan kerja. Walaupun Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen pertahun dalam 10 tahun terakhir, tingkat penyerapan tenaga kerja tidak tumbuh secepat itu.
Angka pengangguran terbuka masih tetap tinggi, 4.82 persen atau 7,2 juta orang dan 59,71 persen penduduk atau 84,33 juta orang bekerja di sektor informal. Sementara, pemutusan hubungan kerja terus meningkat akhir-akhir ini.
Di sini perlu langkah berbeda dan berani, yakni menciptakan lapangan kerja sebagai mesin pertumbuhan ekonomi, bukan sebaliknya. Tentu tidak mudah sebab paradigma penciptaan nilai atau laba masih kuat. Para pelaku bisnis, baik swasta maupun negara, lebih memprioritaskan penciptaan nilai daripada lapangan kerja.
Oleh karena itu, negara harus mendorong keseimbangan di antara dua kebutuhan ini, antara lain, meluncurkan beberapa insentif fiskal (misalnya pengurangan beban pajak) kepada pelaku bisnis yang dapat menunjukkan bahwa penciptaan nilai berjalan seiring dengan penciptaan lapangan kerja.
Secara politik ini berarti menuntut negara aktif menjalankan perannya sebagai penggerak ekonomi nasional. Negara mesti menyadari bahwa setiap warga negara harus bekerja dan melalui pekerjaannya mereka memperoleh pendapatan dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dalam hal ini, kita perlu memasukkan dimensi etik dalam ruang pertumbuhan ekonomi bahwa tanpa pekerjaan, manusia kehilangan kemuliaan, harkat dan martabatnya.
Kedua, pertumbuhan seimbang. Tantangannya adalah menciptakan pertumbuhan yang tidak hanya terjadi di sektor-sektor tertentu dan di wilayah-wilayah tertentu saja.
Jika kita melihat data sepuluh tahun terakhir, sektor keuangan mengalami pertumbuhan yang berkesinambungan dan menggembirakan. Ini, misalnya, terlihat dari net interest margin 4-5 persen di bank-bank besar di Indonesia, sementara di negara-negara lain angkanya hanya sekitar 1 persen.
Sementara, di sektor nonkeuangan, seperti industri manufaktur dan infrastruktur, mengalami masalah serius. Di sektor industri, kontribusinya terhadap ekonomi nasional mengalami penurunan, dari 33 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2000 jadi 18 persen PDB pada 2023.
Sebagian pengamat menyebut fenomena ini sebagai premature deindus trialization. Deindustrialisasi yang datang jauh lebih cepat ketika sektor jasa belum berkembang kuat. Ini anomali, jika dibandingkan dengan sejarah industrialisasi di Eropa.
Pada saat bersamaan terjadi beban keuangan sangat berat di sektor infrastruktur. Sebagian besar BUMN karya, misalnya, kini menanggung beban pembayaran bunga sangat besar, bahkan beberapa pengamat menyimpulkan entitas bisnis ini mengalami bleeding akibat beban pembayaran bunga jauh lebih besar daripada laba, bahkan mungkin sudah negatif.
Jika pada periode krisis ekonomi 1997-1999 pusat masalah adalah sektor keuangan, kini beralih ke sektor nonkeuangan. Jika sektor keuangan sangat konservatif, sektor nonkeuangan cenderung regresif.
Bagaimana kita harus menyikapinya? Gagasan tumbuh berkesinambungan adalah baik. Namun harus disertai dengan gagasan tumbuh bersama sekaligus seimbang. Banyak instrumen kebijakan tersedia, baik dari sisi moneter maupun fiskal.
Di sisi moneter, misalnya, bisa dilakukan dengan meminta otoritas kebijakan moneter turut mengemban mandat pembangunan dalam meluncurkan kebijakan. Contohnya, memberikan tingkat bunga khusus bagi sektor-sektor yang mengalami perlambatan dan stagnasi.
Ketiga, gelombang dan transformasi di tataran global. Suka atau tidak suka, terdapat dua isu besar yang akan berdampak pada ekonomi Indonesia. Isu itu adalah perubahan iklim dan teknologi digital. Perubahan iklim mengharuskan adanya kebutuhan transformasi energi.
Namun, transformasi energi tanpa dimensi keadilan akan mengakibatkan beban transformasi tersebar secara tidak seimbang, baik antarnegara maupun antarlapisan sosial. Kecenderungan tataran global menunjukkan adanya ketidaksepakatan untuk mengatasi perubahan iklim ini.
Target membatasi peningkatan suhu rata-rata global hingga 1,5 derajat celsius di atas tingkat praindustri menjadi problematik setelah Amerika Serikat (AS) keluar dari komitmen perjanjian Paris.
Kita sepertinya tak bisa berharap banyak dari regulasi internasional untuk mengatasi masalah ini. Di sisi lain, kita tahu pembangunan infrastruktur energi terbarukan membutuhkan biaya yang sangat besar.
Mengingat kepentingan nasional yang beragam itu, kecenderungan untuk mengatasi perubahan iklim tampaknya juga mengarah pada pendekatan inward looking melalui kerangka regulasi nasional dibandingkan dengan komitmen multilateral global.
Lihat, misalnya, keluarnya Amerika Serikat dari Inflation Reduction Act, Agustus 2022. Mengedepankan kepentingan nasional sebagai rule of thumb akan menjadi respons tepat atas masalah perubahan iklim ini.
Isu lainnya adalah dampak teknologi digital dalam perekonomian nasional. Kita tentu saja tidak bisa menolaknya.
Manfaat teknologi digital luar biasa pada efisiensi biaya dan konektivitas. Namun bukan berarti kita tidak membutuhkan pengaturannya. Inovasi digital melalui e-commerce, misalnya, menunjukkan kecenderungan kompetisi sengit (cut-throat competition) melalui strategi burning money.
Belum lagi dampaknya pada sektor keuangan di mana pinjaman daring (online) telah berubah menjadi rentenir digital.
Apa yang harus dilakukan menyikapi dampak teknologi digital ini pada ekonomi nasional? Apakah kita menganut pendekatan pasar seperti Amerika Serikat yang membiarkan pasar mengatur dirinya sendiri (market based)? Atau menganut pendekatan berbasis hak asasi (right based) seperti negara-negara Uni Eropa?
Atau mengacu pada pendekatan China di mana negara menjadi pengendali (state based)? Tanpa paradigma jelas, kita hanya akan menatap pesona dan keajaiban yang dibawa teknologi digital dengan konsekuensi disruptif dan negatifnya.
Dukungan publik
Bagaimanapun, menjadi pengamat berbeda dengan menjadi pelaku; demikian juga menyusun kebijakan berbeda dengan melaksanakannya.
Pemilu 2024 telah menempatkan Presiden Prabowo sebagai kepala pemerintahan nasional. Kita sepakat semua elemen bangsa wajib mendukung agar pemerintahan berjalan baik dan mampu mengimplementasi pilihan-pilihan kebijakan yang telah ditawarkan.
Namun, tugas lain tidak perlu ditinggalkan, yakni selalu mengingatkan agar pemerintah tetap teguh dalam usaha menyejahterakan rakyat. Selamat bekerja Presiden Prabowo. Semoga sukses.()
*Ketua DPP PDI Perjuangan
**Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, Jumat, 18 Oktober 2024.
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS