NGAWI – Diana Amaliyah Verawatiningsih menyasar wilayah Desa Klampisan, Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi, dalam rangkaian resesnya sebagai anggota DPRD Provinsi Jawa Timur, Sabtu (6/3/2021).
Desa Klampisan ini sudah lama menarik perhatiannya, karena warganya banyak yang menjadi pengrajin tikar tenun. Dia punya keinginan kuat menjadikan Desa Klampisan sebagai ikon sentra tikar tenun yang menasional.
Karena itu, dalam kesempatan reses kali ini, Diana mengagendakan Klampisan sebagai salah satu titik jaring aspirasi masyarakat.
“Di Desa Klampisan ada pengrajin tikar tenun, dari dulu potensi ini saya pantau. Saya sangat ingin nantinya Klampisan jadi ikon tikar tenun,” kata Sasa, sapaan akrabnya.
Menurutnya, pembuatan tikar tenun di Klampisan dilakukan kaum perempuan, ibu-ibu rumah tangga, “Tikar ini dibuat ibu-ibu, untuk membantu ekonomi keluarga. Saya salut perjuangan mereka,” ujarnya.
Politisi PDI Perjuangan kelahiran Pacitan ini menyebut, usaha pembuatan tenun tikar sebagai kemandirian warga.
“Atas dukungan pemerintah desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) diharapkan adanya pengrajin tikar tenun ini, Desa Klampisan, bisa lebih dikenal masyarakat luas,” kata Sasa.

:
Selama ini, sebutnya, kendala yang mereka hadapi ada di bahan baku dan alat tenun. Untuk itu, dia menyatakan kesiapannya memperjuangkan ke tingkat provinsi terkait apa yang selama ini menjadi kendala mereka.
“Di sini saya melihat potensinya sangat besar untuk dikembangkan menjadi sentra industri pembuatan tikar tenun. Tentu kami akan memperjuangkan masukan dari para pengrajin. Seperti terkait pengadaan alat tenun, serta masalah permodalannya,” bebernya.
Sementara itu, Siti Lestari (34), salah satu pengrajin tikar tenun mengaku sangat senang, karena usaha mereka diperhatikan. Dirinya bersama pengrajin lainnya, selama ini memang sangat berharap ada bantuan dari pemerintah.
“Ini untuk pertama kalinya kami dikunjungi oleh anggota dewan provinsi. Melalui Bu Sasa kami berharap kendala dari industri yang kami geluti bisa terselesaikan,” kata Siti.
“Salah satunya pengadaan alat tenun dan modal untuk pembelian bahan bakunya. Karena kami kewalahan atas permintaan yang banyak tidak sebanding dengan alat yang ada saat ini,” tambah dia.
Menurut Siti, dalam sehari bisa menghasilkan 3 sampai 5 tikar tenun, dan motif bisa berbeda tergantung pemesanannya. Harganya bervariatif mulai Rp 60 ribu hingga Rp 75 ribu.
“Banyak warga dari wilayah lain yang langsung datang kesini untuk membeli, termasuk toko-toko yang ada di Ngawi, Magetan hingga Madiun,” pungkasnya. (afm)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS