JOMBANG – Peringatan Bulan Bung Karno (BBK) di Jombang diwarnai dengan sarasehan bertajuk “Perempuan Berdaya untuk Indonesia” yang digelar di Balai Desa Plandi, Rabu (11/6/2025).
Acara ini menghadirkan 3 politisi perempuan PDI Perjuangan, yakni Tri Rismaharini, Rieke Diah Pitaloka Intan Purnamasari, dan Sadarestuwati atau Mbak Estu.
Di acara sarasehan tersebut, ketiganya memberikan motivasi kepada kelompok perempuan Kabupaten Jombang tentang masa depan perempuan dalam menghadapi krisis ekonomi yang kian kompleks.
Sarasehan ini tidak hanya memperingati warisan pemikiran pro-kesetaraan dari Bung Karno, tapi juga menyoroti ketimpangan struktural yang masih menempatkan perempuan dalam posisi menunggu, bukan mengambil peran utama dalam perekonomian keluarga dan bangsa.
Tri Rismaharini, mantan Menteri Sosial RI dan Ketua DPP PDI Perjuangan menyinggung budaya ketergantungan sosial yang masih melekat di banyak kalangan perempuan. Dia mendorong agar dilakukan perubahan paradigma secara mendasar dalam benak setiap perempuan.
“Kalau bisa jadi juragan, kenapa harus jadi pegawai?” ujarnya lantang, menolak sikap pasif di tengah realitas ekonomi yang semakin menekan.
Risma menegaskan, membuka akses pelatihan dan kewirausahaan berbasis keterampilan yang konkret dan bukan sekadar seremonial, mampu menggugah semangat juang dan kemandirian perempuan.
Menurutnya, perempuan harus diposisikan sebagai subjek ekonomi yang aktif, bukannya pasif. “Kita harus membekali perempuan dengan pelatihan-pelatihan yang konkret. Sehingga mereka bisa berdiri di atas kaki sendiri dan tidak hanya mengandalkan bansos,” tegasnya.
Senada dengan Risma, anggota DPR RI Komisi VI dari Fraksi PDI Perjuangan, Sadarestuwati, menyoroti peran strategis perempuan dalam menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masih berlangsung di sejumlah sektor.
Mbak Estu, sapaan akrabnya, mengingatkan bahwa ketika kepala keluarga kehilangan pekerjaan, perempuan dapat menjadi garda terakhir ketahanan ekonomi rumah tangga.
“Dengan sarasehan dan pelatihan ini, kami ingin mengajak perempuan-perempuan Indonesia untuk bisa mandiri. Jangan hanya bergantung pada suami,” ujarnya.
Dia menambahkan, produktivitas tidak harus dimaknai melalui kerja di luar rumah, namun lebih kepada kiat-kiat bisnis yang menghasilkan dan dapat terus dilakukan.
“Ibu rumah tangga bisa produktif dari rumah. Entah itu menjahit, membuat makanan ringan, atau berdagang online. Yang penting punya semangat untuk berdaya,” tambahnya.
Sedang Rieke Diah Pitaloka yang juga anggota DPR RI memberikan refleksi soal bagaimana ketangguhan mental diperlukan sebagai prasyarat penting dalam pemberdayaan perempuan.
“Permasalahan itu dua. Yang kita anggap masalah padahal bukan, dan yang memang benar-benar masalah. Kalau ada masalah, pasti ada solusinya. Jadi tidak usah dipikirkan terlalu berat,” ucapnya, mengutip Presiden ke-4 RI, Gus Dur.
Dia mengisahkan bagaimana kesederhanaan bukanlah tanda untuk menyerah. Ibunya yang bekerja sebagai tukang pijat refleksi, sekaligus penjual jamu keliling nyatanya dapat membentuk mentalitasnya sebagai perempuan tangguh.
“Saya tumbuh dalam keluarga yang sederhana. Ibu saya tidak malu keliling kampung jual jamu. Dulu kalau belum laku 10 bungkus nasi uduk, saya belum bisa sarapan,” kenangnya.
Melalui pengalaman itu, ia menarik kesimpulan bahwa pemberdayaan bukan hanya urusan ekonomi, tetapi juga soal keberanian menghadapi hidup dengan kepala tegak dan tegar.
“Saya berharap dari Jombang, lahir perempuan-perempuan hebat yang bisa mengubah nasib keluarganya, lingkungannya, bahkan bangsanya,” katanya.
Sarasehan ini menjadi pengingat bahwa memperingati bulan Bung Karno bukan sekadar mengulang retorika historis, tetapi membumikan semangat emansipasi dalam bentuk konkret.
Ketimpangan dan ketergantungan ekonomi yang masih dialami banyak perempuan membutuhkan respons sistematis dan berkelanjutan.
Dengan mendorong pelatihan keterampilan, membangun mentalitas mandiri, dan menempatkan perempuan sebagai aktor utama pembangunan, kegiatan ini diharapkan bisa menjadi model bagi wilayah lain.
“Kalau perempuan tidak berdaya, bagaimana nasib anak-anak dan masa depan bangsa kita?” pungkas Sadarestuwati. (fath/pr)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS