SUATU ketika Bung Karno gowes, bersepeda santai di bagian selatan Kota Bandung. Kawasan pertanian dengan petak-petak kecil sekira sepertiga hektar tiap petak.
Hingga pandangannya tertuju pada seorang petani yang sedang mencangkul tanah miliknya.
“Dia seorang diri. Pakaiannya sudah lusuh. Gambaran yang khas ini kupandang sebagai perlambang daripada rakyatku,” kata Bung Karno.
Bung Karno menghampiri petani yang kemudian mengenalkan namanya: Marhaen. Keduanya pun mengobrol seperti ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Bung Karno: “Siapa yang punya semua yang engkau kerjakan sekarang ini?”
Marhaen: “Saya, juragan.”
Bung Karno: “Apakah engkau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?”
Marhaen: “O.. tidak, gan. Saya sendiri yang punya.”
Bung Karno: “Tanah ini kaubeli?”
Marhaen: “Tidak. Warisan bapak kepada anak turun-temurun.”
Bung Karno: “Bagaimana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apakah kepunyaanmu juga?”
Marhaen: “Ya, gan.”
Bung Karno: “Dan cangkul?”
Marhaen: “Ya, gan.”
Bung Karno: “Bajak?”
Marhaen: “Saya punya, gan.”
Bung Karno: “Untuk siapa hasil yang kau kerjakan?”
Marhaen: “Untuk saya, gan.”
Bung Karno: “Apakah cukup untuk kebutuhanmu?”
Marhaen: “Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk seorang isteri dan empat orang anak.”
Bung Karno: “Apakah ada yang di jual dari hasilmu?”
Marhaen: “Hasilnya sekedar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual.”
Bung Karno: “Kau mempekerjakan orang lain?”
Marhaen: “Tidak, juragan. Saya tidak dapat membayarnya.”
Bung Karno: “Apakah engkau pernah memburuh?”
Marhaen: “Tidak, gan. Saya harus membanting-tulang, akan tetapi jerih-payah saya semua untuk saya.”
Bung Karno kemudian menunjuk sebuah rumah kecil menyerupai gubuk.
Bung Karno: “Siapa yang punya rumah itu?”
Marhaen: “Itu gubuk saya, gan. Hanya gubuk kecil saja, tapi kepunyaan saya sendiri.”
Bung Karno: “Semua ini engkau
punya?”
Marhaen: “Ya, gan.”
Dari obrolan dengan Marhaen, Bung Karno yang ketika itu berusia 20 tahun, bak mendapat ilham.
“Aku akan memakai nama itu
untuk menamai semua orang Indonesia bernasib malang seperti itu! Semenjak itu, kunamakan rakyatku, rakyat Marhaen.”
Rakyat Marhaen disebut Bung Karno tak sekadar petani seperti petani yang ia temui dan mengenalkan diri dengan nama Marhaen. Namun dari berbagai bidang pekerjaan.
Seseorang yang menekuni pekerjaan, menjadi majikan karena memiliki alat produksi sendiri, sekaligus menjadi buruh dalam proses produksi yang digeluti. Bung Karno lantas memberikan beberapa contoh Rakyat Marhaen dalam berbagai bidang sebagai berikut:
“Dia menjadi kusir gerobak kudanya, dia menjadi pemilik dari kuda dan gerobak itu dan dia tidak mempekerjakan buruh lain.”
“Nelayan-nelayan yang bekerja sendiri dengan alat-alat seperti tongkat kail, kailnya dan perahu kepunyaan sendiri.”
“Dan begitupun para petani yang menjadi pemilik tunggal dari sawahnya dan pemakai tunggal dari hasilnya.”
Juga penjual sate. Yang tidak punya majikan juga tidak punya pembantu. “Engkau juga seorang Marhaen,” katanya.
“Orang-orang semacam ini meliputi bagian terbanyak dari rakyat kami. Semua menjadi pemilik dari alat produksi mereka sendiri, jadi mereka bukanlah rakyat proletar. Mereka punya sifat khas tersendiri,” jelas Bung Karno. (hs)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS