SURABAYA – Upaya melestarikan budaya Tiongkok terus dilakukan komunitas Tionghoa di Surabaya. Agenda berbalut pesta rakyat dengan tema Sedekah Bumi tersebut digelar di kawasan Kapasan Dalam Surabaya, Kamis (8/10/2015) malam.
Menariknya, dalam peringatan yang sudah digelar selama 119 tahun ini, perpaduan antara etnis Tionghoa dan Jawa melebur jadi satu. Dalam kegiatan yang dihelat di tengah perkampungan kawasan Timur Surabaya tersebut, juga mempertontonkan pagelaran wayang kulit.
Kegiatan tersebut menarik perhatian pasangan calon wali kota-calon wakil wali kota inkumben Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana. Keduanya hadir berselang waktu. Risma terlebih dahulu membuka kegiatan yang sudah ditunggu—tunggu oleh warga.
Risma hadir mengenakan busana batik berwarna merah dan dianugerahkan kalungan bunga saat menuju lokasi acara. Politisi perempuan yang kembali diusung sebagai cawali oleh PDI Perjuangan ini mengapresiasi undangan tersebut.
Dia begitu terkesan dengan pertunjukan yang dihelat warga sekitar. “Ini unik, kenapa Saya bilang begitu. Ada perpaduan dua unsur budaya. Yakni Tionghoa dan Jawa. Yang mengundang klenteng namun bikin acara wayang kulit,” ujarnya.
Dikatakan mantan Kepala Bapekko dan DKP Kota Surabaya ini, perpaduan akulturasi budaya tersebut menjadi salah satu ciri khas Surabaya.
“Dulu saya pernah mengelar wayang potehi di balai kota, tapi di sini (Klenteng Boen Bio) malah menggelar wayang kulit. Akulturasi budaya patut diteruskan. Ke depan, yang harus dipikirkan bagaimana mengembangkan budaya,” tegasnya.
Risma juga berkesempatan menyerahkan tokoh wayang Srikandi kepada panitia acara. Bahkan, Risma juga sempat diminta nyinden. “Loh kalau nyinden saya bisa. Tapi ini bahasa (Jawa) saya kalah halus sama Ki Dalang,” kelakar Risma sambil tertawa geli sembari menjawab kalimat Ki Dalang yang menggunakan bahasa Jawa kromo inggil.
Sementara, Mas WS (sapaan Whisnu Sakti Buana), datang berselang setelah Risma meninggalkan lokasi. Whisnu datang disambut seluruh panitia acara.
“Sebenarnya tadi kami akan hadir berdua. Namun, ada acara internal partai yang tidak bisa ditinggal. Jadi agak terlambat memang,” kata Whisnu. Alumnus ITS Surabaya ini mengakui terkesan dengan perpaduan dua unsur budaya.
Dikatakan Mas WS, tontonan wayang kerap dilihatnya semasa kecil. Namun, pertunjukan kolaborasi dua budaya tersebut justru membuat rasa kagum bagi arek Pakis ini. Wayangan yang digelar semalam suntuk ini menghadirkan lakon berjudul Bangun Taman Maerokoco. Sedang di malam hari kedua adalah Wahyu Kesantosan.
Menurut ketua panitia Ary Hermawan, setiap tahun, acara yang digelar di belakang Klenteng Boen Bio ini selalu menggelar wayang kulit, sebagai perpaduan budaya antara Tiongkok dan Jawa. “Malam ini kita undang dalang dari Tionghoa, yaitu Boen Liong atau Ki Dalang Noto Sabdo Sutedjo,” kata Ary di lokasi acara.
Ary juga menyebut, acara sedekah bumi yang diadakan sekitar 30 warga Tionghoa di Jalan Kapasan Dalam ini, selalu diadakan di depan punden pohon tua, yang saat ini sudah tumbang dan dibuatkan rumah.
“Acaranya selalu digelar di depan punden. Pernah digelar di lapangan samping, itu sudah lama sekali. Menurut orang tua-tua dulu, kalau digelar di lokasi lain semua tendanya roboh. Akhirnya, tiap tahun selalu digelar di depan punden,” ceritanya. (goek/*)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS