SURABAYA – Komisi IX DPR RI mendukung aspirasi buruh/pekerja untuk membubarkan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan mengganti dengan sistem baru yang berkeadilan sosial. Hal itu sesuai tuntutan utama aksi Mayday 2015 lalu di Jawa Timur, yakni pembubaran PHI yang dibentuk melalui UU no. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
Dalam siaran pers yang diterima Infokom PDI Perjuangan Jawa Timur, Senin (11/5/2015), Rieke Diah Pitaloka M Hum, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan menyatakan, Komisi IX menggelar rapat dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur di Kantor Gubernur Jalan Pahlawan Surabaya. Pertemuan dalam rangka kunjungan kerja DPR RI itu untuk membahas berbagai isu terkait ketenagakerjaan dan kesehatan.
Rapat tersebut juga dihadiri perwakilan serikat buruh/serikat pekerja untuk menindaklanjuti aspirasi Mayday 2015 di Jatim. Menurut buruh Jawa Timur sistem PPHI sudah seperti kolonialis kapitalis sehingga mereka lebih memilih jalan mogok, aksi turun jalan, bahkan anarkis karena negara tidak lagi melindungi buruh, sistemnya tidak memberikan keadilan dan lebih memihak pengusaha. “Hampir 90 persen kasus outsourcing putusannya bukan mempekerjakan kembali tetapi dipecat dengan pesangon,” kata Rieke.
Dia juga mengritisi mahalnya biaya perkara dalam kasus PHK akibat proses persidangan yang berkepanjangan. “Ada yang hingga 10 (sepuluh) kali sidang. Contohnya buruh dari Banyuwangi harus setiap minggu ke PHI Surabaya. Sedangkan upaya hukum kasasi dan PK ke MA juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Lebih-lebih jika perlu eksekusi maka diperlukan biaya besar mulai Rp 6 juta hingga Rp 35 juta,” paparnya.
Tidak hanya itu proses hukum yang berjalan rata-rata memakan waktu yang lama 3-5 tahun bahkan ada kasus proses hukumnya sampai 7 tahun hingga 30 tahun. “Bayangkan, sampai buruhnya meninggal tapi kasus belum selesai dan ketentuan hukum acara perdatanya amat menyulitkan buruh,” tambah dia.
Rieke menjelaskan, secara konsepsi UU 2/2004 menggeser sistem penyelesaian sengketa dari ranah hukum publik ke ranah hukum privat yang secara substansial menghilangkan proteksi dan intervensi negara. Menurut Rieke, dalam tataran implementasi sistem PPHI semakin menjauhkan buruh/pekerja dari akses keadilan dan selalu menempatkan dalam posisi terkalahkan akibat rezim perdata yang terkontaminasi praktek mafia peradilan.
Kewenangan PHI juga melemahkan peran Dinas Tenaga Kerja sebagai mediator dan pengawas Ketenagakerjaan. “Sejak ada PHI, Disnaker tidak lagi memiliki posisi kuat dalam membela kepentingan buruh. Selama 10 tahun lebih UU 2/2004 tentang PPHI gagal menyelesaikan permasalahan hubungan industrial secara adil, cepat, tepat dan murah. Akibatnya, marak konflik industrial yang disertai aksi unjuk rasa maupun mogok kerja,” ujarnya.
Dalam perkembangannya Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR RI tahun 2015 menempatkan Perubahan UU 2/2004 masuk daftar nomor urut 30. Dan saat ini sampai pada tahapan Komisi IX DPR RI tengah menyusun naskah akademik dan Rancangan Undang-Undang.
Oleh karena itu, imbuh Rieke, tidak bisa tidak, revisi UU 2/2004 harus dikembalikan lagi kepada semangat Undang-Undang 22/1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Ketika terjadi konflik, negara masih berperan mengintervensi dan berpihak kepada pekerja/buruh yang posisinya subordinat.
“Jadi, menghadapi MEA akhir 2015 nanti kita sudah mempunyai produk legislasi dengan skema perlindungan yang lebih baik terhadap pekerja/buruh dalam negeri dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkeadilan sosial, cepat, mudah dan murah. Dengan demikian trilayak rakyat pekerja, yakni kerja layak, upah layak dan hidup layak dapat terwujud,” pungkasnya. (sa)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS