Paska Orde Baru kita memasuki babak baru, yakni alam kebebasan yang memang kita tuntut dari Orde Baru. Bandul politik berubah, pasca Orde Baru konsolidasi alat-alat negara melemah, kran kebebasan menjelma menjadi kebebasan tanpa batas.
Kebebasan itu bahkan menjadi kendaraan berbagai kekuatan radikalis baik yang berhaluan kiri maupun kanan. Namun radikalis kiri masih mengalami trauma berkepanjangan paska peristiwa ’65. Radikalis kanan yang bersumber dari salah tafsir dan penyalahgunaan pemahaman agama tumbuh subur.
Wahabisme tiba-tiba meluber, dimulai dari kampus-kampus yang berpusat di masjid-masjid kampus, bahkan pembinaan radikalisme dari penyelewengan tafsir agama dan cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia kembali muncul meski Karto Soewiryo dieksekusi mati 12 September 1962. Namun sel dan penerus mereka terus berlanjut meski dengan bergerak di bawah tanah. Ajengan Masduki, Ujang Baharudin, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir adalah kader kader muda NII paska Karto Soewiryo.
Di bawah tekanan Orde Baru mereka lari dan bersembunyi di Malaysia dan beberapa negara, namun paska orde baru mereka kembali ke Tanah Air dan melanjutkan berbagai perjuangan terwujudnya Negara Islam Indonesia (NII) dengan berbagai cara, termasuk merekrut sel-sel baru, dan melakukan berbagai aksi bom bunuh diri. Bersamaan dengan itu gelombang gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir masuk ke Indonesia menjelma dan menguasai masjid-masjid, terutama di kampus-kampus negeri.
Jaringan radikalis yang menyalahgunakan pemahaman Islam untuk kepentingan politik mereka telah beranak pinak. Bahkan di antara sel-sel mereka bisa tidak saling kenal. Mereka merangsek berusaha mengambil masjid-masjid yang berada di bawah pengelolaan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Ancaman ini sungguh nyata, bahkan sebagian kader-kader mereka yang menjadi pendidik melakukan berbagai indoktrinasi anak-anak usia sekolah, mengenalkan Islam secara salah, membenarkan kekerasan, memusuhi yang beda keyakinan, dan masih banyak lagi.
Terbaru, survei Wahid Institute tahun 2020 ada sekitar 0,4% atau sekitar 600.000 jiwa warga negara Indonesia (WNI) yang pernah melakukan tindakan radikal. Ada satu warga negara berpandangan radikal saja sudah membahayakan, apalagi sekian ratus ribu orang. Ancaman atas kelangsungan kita sebagai negara bangsa, yang beragam budaya, agama, suku dan bahasa sungguh nyata di depan mata. Bagaimana mungkin bangsa yang aneka budaya ini disatukan dalam Daulah Islam yang homogen, bahkan Rasulullah SAW saja tidak mengajarkan hal ini. Sudah banyak cerita di Timur Tengah cita-cita ini malah menjadi mimpi buruk. Kita tidak ingin tragedi seperti di Timur Tengah merobohkan tiang kebangsaan kita yang merupakan ajimat dari para pendiri bangsa.
Revitalisir
Setelah sekian lama paska orde baru kelompok-kelompok radikalis berkedok agama ini dibiarkan. Mereka tumbuh bak cendawan di musim hujan. Tak kurang pada pemilu 2014 Dan pilkada DKI Jakarta 2017 penggunaan klaim-klaim kafir, penghasutan dan penyesatan informasi yang diberi justifikasi Islam menjadi alat politik mereka. Mereka melihat Capres Joko Widodo yang kemudian terpilih, memenangi pemilu 2014 dan Cagub Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dianggap kelompok politik yang tidak menguntungkan eksistensinya, oleh sebab itu harus dihancurkan dengan Islam sebagai pembenar. Sebuah cara licik untuk mengelabui publik.
Gusti Alloh mboten sare. Kebenaran tetap tegak berdiri, rakyat Indonesia juga ternyata tidak masuk perangkap tipu-tipu kotor ini. Bahkan rakyat Indonesia memberikan amanah untuk kedua kalinya terhadap Presiden Joko Widodo dan PDI Perjuangan. Yang kita syukuri, Pak Prabowo Subianto dan Pak Sandiaga Uno bahkan bersatu padu membangun Indonesia bersama Presiden Joko Widodo.
Situasi ini memang tidak menguntungkan kaum radikalis tersebut. Namun bukan berarti mereka berhenti bergerak. Sel-sel mereka bermutasi dan beregenerasi, sebagian eksistensinya melakukan perlawanan terbuka di Poso. Sebagiannya lagi “tidur” namun masih beregenerasi. Ada banyak figur dan peran yang mereka mainkan, mulai dari figur agama hingga akademisi di kampus, bahkan merangsek ke jaringan birokrasi.
Gerakan mereka terus menerus berupaya mendelegitimasi pemerintahan Joko Widodo. Hasut dan hoax adalah menu hariannya dengan kemasan agama. Mereka hendak membangun narasi seolah-olah pemerintahan Presiden Joko Widodo memusuhi Islam dan ulama. Padahal Wakil Presiden kita adalah Ulama, mantan pemimpin tertinggi di NU yang lebih merepresentasikan keislaman kita sehari-hari.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo meletakkan agenda memperkuat identitas negara bangsa adalah agenda yang tidak bisa ditawar-tawar. Pemerintahan ini terus merevitalisir sendi-sendi kebangsaan kita yang sempat koyak. Mengembalikan kembali masjid dan pusat-pusat pendidikan untuk mengembangkan Islam rahmatan lil alamin, sekaligus menghasilkan kader-kader bangsa yang maju penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun inklusif hati dan pikirannya terhadap eksistensi beragam identitas.
Pemerintah ingin mengefektifkan sistem deteksi dini berbagai klaster dan simpul perkembangbiakan pemikiran radikalisme dan intoleransi. Agenda ini tidak hendak mengoreksi prinsip demokrasi yang memang telah kita sepakati sebagai sistem politik. Justru agenda ini kita letakkan dalam kerangka perlindungan terhadap warga negara, meminimalisir kemungkinan aksi teror yang dampaknya sangat eksesif dan traumatis.
Jika selama ini masjid dan kampus diselewengkan, bahkan institusi birokrasi menjadi alat politik mereka, kita akan kembali letakkan pada kedudukannya, pada fitrahnya yang esensial. Jadi kalaupun ada pengawasan terhadap berbagai kegiatan di masjid atau tempat tempat pendidikan tak lebih sebagai early warning. Aparat keamanan tentu tidak sembarangan melakukan pengawasan. Mereka telah memiliki informasi intelijen cukup. Aparat keamanan cukup cermat memetakan masjid dan tempat pendidikan mana yang selama ini menjadi lumbung mereka.
Masjid-masjid dan kampus-kampus yang memang telah nyata memberikan kontribusi pada Islam dan peradaban yang berkemajuan, inklusif dan menopang berdirinya negara bangsa sebagaimana yang digawangi oleh ulama-ulama kharismatik di NU maupun Muhammadiyah tentu bukan dari target pengawasan itu. Kita juga telah mengantisipasi berbagai framing yang mereka bentuk, seolah-olah pemerintah memusuhi Islam dan ulama, karena posisi kelompok radikalis yang semakin tersudut ini. Saatnya kita warga bangsa, bersatu padu menolak pembodohan dan indoktrinasi. Terus kita perkuat meletakkan Islam sebagai energi memajukan bangsa dan negara.
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS