Sarana bermain saat kanak-kanak, tempat bermenung di pengasingan, hingga peneduh jemaah haji di Mekkah. Pohon juga ada dalam wasiatnya.
BERBAGAI catatan sejarah menyebutkan, pohon mewarnai perjalanan hidup Sukarno seperti halnya buku.
Pohon menjadi bagian dalam permainan di masa kecilnya, menjadi tempat berteduh dan menggali pemikiran-pemikian di era pengasingan di masa muda. Hingga menjadi diplomasi politik luar negerinya. Bahkan, Sukarno berwasiat agar tempat peristirahatan terakhirnya di bawah pohon rindang.
Semasa tinggal di Mojokerto dari tahun 1907 hingga 1915, Sukarno bersahabat dengan alam. Pohon, rumput, dan sungai menjadi kesehariannya semasa kanak-kanak hingga remaja. Ia memilih permainan berbahan alam, ketimbang mainan berbayar atau membeli.
Sukarno dalam buku otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Cindy Adams) menceritakan, di dekat rumahnya tumbuh sebatang pohon. Daunnya lebar pada bagian pangkal dan bertangkai panjang seperti dayung. Ketika daun itu rontok, ia dan teman-temannya menggunakan sebagai permainan kereta luncur.
“Terkadang aku menjadi kudanya, tapi biasanya menjadi kusir”.
Tak cuma pelepah bagian dari pohon atau tumbuh-tumbuhan yang ia gunakan menjadi alat permainan. Juga buluh panjang digunakan menjadi semacam sumpit. Sementara pelurunya, dari biji kacang.
Baca juga: Tinggal di Mojokerto, Sukarno Remaja Jadi Trendsetter Permainan Anak Seusianya
Pohon Sukun dan Pancasila
Pohon juga mewarnai cerita hidup Sukarno muda di tempat pengasingan. Paling fenomenal, saat Bung Karno dibuang penjajah Belanda di Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur pada akhir 1933 hingga 1938.
Bung Karno dalam Buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia menggambarkan rumah pengasingannya di Ende. “Di depan rumahku tumbuh sebatang pohon kluwih. Berjam-jam lamanyaaku duduk bersandar pada pohon itu, di bawah dahannya aku berdoa dan berpikir.”.
Selain pohon tersebut, Bung Karno memiliki tempat favorit di Ende. Sebuah pohon sukun berada sekira 700 meter dari rumah pengasingannya. “Tempat untuk menyendiri yang kusenangi itu di bawah pohon sukun yang menghadap ke laut”.
Di bawah pohon sukun itu pula, Bung Karno kerap bermenung, diam dan berpikir. Mengenai jalannya revolusi Indonesia, hingga tentang ketuhanan.
Termasuk, mendapatkan inspirasi nilai-nilai Pancasila seperti dikutip dari website Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
“Di kota ini kutemukan lima butir mutiara, di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila,” ujar Bung Karno saat itu.
Kelak, lima butir tersebut dijabarkan Bung Karno dalam pidatonya pada sidang BPUPKI di Jakarta pada 1 Juni 1945. Peristiwa itu pula yang kemudian diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila.
Pohon Sukarno di Arab Saudi
Pada 1955 Bung Karno melakukan kunjungan kenegaraan ke Arab Saudi sekaligus menunaikan ibadah haji. Saat itu, Bung Karno mendapatkan fakta panasnya suhu di Padang Arafah, Mekkah, tempat wukuf pada puncak pelaksanaan ibadah haji.
Rahmat Sahid dalam bukunya berjudul Ensiklopedia Keislaman Bung Karno menjelaskan, hal itu yang mendasari Bung Karno mengusulkan kepada Pemerintah Arab Saudi untuk menanam pohon mindi dan mimba di Padang Arafah.
Tak sekadar mengusulkan, Sukarno juga menawarkan bibit pohon tersebut untuk dijadikan peneduh. Tawaran itu pun disambut positif oleh pemerintah Arab Saudi, dalam hal ini Raja Saud bin Abdul Aziz. Pada 1960, program penghijauan padang Arafah dengan pohon mimba dan mindi pun dimulai.
“Pohon itu kemudian terkenal dengan sebutan Syajaroh Karno atau pohon Karno, mengacu pada nama penyumbang, yakni Presiden Sukarno,” sebut Rahmat Sahid dalam buku tersebut.
Website Kementerian Agama Republik Indonesia menjelaskan, saat itu, Presiden Sukarno tak sekadar mengirimkan ribuan bibit pohon. Juga mengirimkan ahli tanaman dari Indonesia untuk mengembangbiakkan tanaman yang memang cocok tumbuh di daerah tandus tersebut.
Baca juga: Bung Karno dan Ribuan Buku
Kini, Pohon Sukarno telah memenuhi Padang Arafah. Juga di sudut-sudut kota Mekkah, Madinah, dan Jedah.
“Keberadaan pohon-pohon ini sangat membantu mengurangi suhu panas saat jamaah haji melaksanakan wukuf”.
Ada Pohon di Wasiat
Mengenai bagaimana Bung Karno akan dikebumikan pada saat wafat, ia tidak ingin pusaranya berhias kemewahan layaknya sejumlah pemimpin negara lain.
“Bila sudah waktunya bagiku untuk pergi, aku hanya ingin menutup mata dan diantarkan ke pangkuan Tuhan,” kata Sukarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
“Aku mendambakan bernaung di bawah pohon yang rindang, dikelilingi alam yang indah”. (hs)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS