SURABAYA – Berbagai upaya dilakukan Pemkot Surabaya untuk mempertahankan pendidikan gratis di tingkat SMA/SMK. Terbaru, pemkot mengajukan usulan perubahan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah ke DPR RI, melalui Prolegnas 2017.
“Kemarin kita bertemu anggota Badan Legislasi DPR-RI, dan mereka memberi ruang untuk mengajukan perubahan undang-undang itu,” ungkap Wakil Wali Kota Surabaya, Whisnu Sakti Buana, Selasa (5/4/2016).
Seperti diketahui, sesuai UU 23/2014, mulai 2017 semua SMA/SMK pengelolaannya akan diambil alih pemerintah provinsi. Murid SMA/SMK di Surabaya yang selama ini mendapatkan biaya pendidikan gratis, dikhawatirkan tidak akan menerima bantuan cuma-cuma tersebut, saat dikelola Pemprov Jatim.
Whisnu menambahkan, perubahan tersebut dimungkinkan, karena UU 23/2014 disahkan menjelang masa akhir jabatan DPR-RI periode sebelumnya. Sehingga, proses pembahasannya terkesan dikebut.
“Baru dibahas September, kemudian Oktober sudah purna tugas,” tandas pria yang juga Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya itu.
Dia menambahkan, pada saat pembahasan UU 23/2014, kalangan dewan tak berpikir dampaknya pada pemerintah daerah yang sudah mampu mengelola pendidikan sendiri.
“Jika kondisinya seperti ini, masyarakat miskin Surabaya banyak yang terancam putus sekolah, karena tak bisa membayar biayanya,” ujarnya.
Semangat pemerintah kota memberikan pendidikan gratis 12 tahun, jelas Whisnu, selaras dengan pasal 31 UUD 1945, yang isinya setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
“Jika negara mampu, tanggung jawab negara membiayai pendidikan,” kata alumnus ITS Surabaya ini.
Perjuangan melalui parlemen dengan mendorong revisi UU 23/2014, sebut Whisnu, cukup panjang. Namun langkah itu tetap akan ditempuh, sambil melakukan koordinasi dengan daerah lain yang pengelolaannya lebih baik dari pemerintah provinsi.
Dia mengungkapkan, Pemprov Jatim telah mengumpulkan para kepala sekolah seiring adanya perubahan pengeloaan pendidikan SMA/SMK dari pemerintah kabupaten kota ke provinsi. Hasilnya, apabila dikelola pemprov, makan siswa SMA/SMK akan dikenai uang SPP sebesar Rp 200.000 – 300.000 per bulan.
“Itu di luar uang gedung, buku, seragam dan kelengkapan lainnya,” bebernya.
Menanggapi upaya judicial review perwakilan walimurid ke Mahkamah Konstitusi (MK), dia mengatakan, dari hasil sidang pertama 31 Maret lalu, majelis hakim menerima dengan baik. Meski ada perbaikan, namun MK menerima standing legal yang diajukan para orang tua yang menolak pendidikan tak gratis. (goek)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS