SURABAYA – Pemerintah Kota Surabaya mengonsep buffer zone (kawasan penyangga) tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Benowo, seperti hutan dan dilengkapi track untuk bersepeda.
Selain berfungsi utama untuk mencegah pencemaran udara maupun limbah TPA, buffer zone Benowo bisa menambah ruang terbuka hijau di Kota Pahlawan.
“Buffer zone TPA Benowo sudah kita desain menjadi tempat yang indah dan menarik. Selain memiliki fungsi utama sebagai kawasan penyangga, juga dapat dimanfaatkan warga sebagai sarana edukasi dan rekreasi,” kata Wali Kota Tri Rismaharini, Kamis (6/10/2016).
Area buffer zone, jelas Risma, akan mengelilingi TPA Benowo. Oleh karena itu, dibutuhkan lahan yang sangat besar.
Hitungan pemkot, setidaknya 37 hektare diperlukan untuk membangun buffer zone. Namun, pemkot tak akan langsung membebaskan seluruh lahan tersebut karena keterbatasan anggaran.
“Makanya, kita cicil tahun ini rencananya 10 hektare dulu,” jelas wali kota yang juga kader PDI Perjuangan ini.
Dia merinci, buffer zone minimal harus memiliki lebar 100 meter dari keseluruhan tepian TPA. Lahan yang masuk kawasan penyangga rencananya bakal ditinggikan 1 meter.
Kemudian, lahan tersebut akan ditanami pohon yang tingginya lebih dari 10 meter. Dengan demikian, diharapkan bau sampah tidak akan mengganggu kawasan permukiman di sekitarnya.
Sayangnya, DPRD Surabaya masih menolak pengajuan anggaran pembebasan lahan untuk buffer zone. Terkait hal ini, wali kota menyatakan akan melakukan pembahasan kembali bersama DPRD Surabaya dalam waktu dekat.
Terkait aturan, mantan Kepala Bappeko ini menyatakan bahwa pembangunan buffer zone telah sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Surabaya Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Surabaya Tahun 2014-2034.
Juga sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum 19/PRT/M/2012 Tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Sekitar Tempat Pemrosesan Akhir Sampah.
“TPA Benowo ini sudah menjadi yang terbaik di Indonesia dan telah dijadikan rujukan studi banding daerah lain. Tapi, saya ingin sempurnakan sesuai standar Kementerian PU,” ucap alumnus ITS ini.
Sebelum menyusun perencanaan buffer zone TPA Benowo, Risma juga memperhatikan referensi dari luar negeri. Seperti TPA di Jerman yang mayoritas di tengah hutan.
Sedangkan di Jepang, tidak semua di tengah hutan. Namun proses pelaksanaan mulai dari pengambilan sampah hingga pengolahan akhir dilakukan secara ketat.
Dia berpendapat, model pengelolaan TPA di negara lain tidak bisa serta-merta diterapkan di Surabaya. Pasalnya, jenis sampah antara negara lain dengan Kota Pahlawan berbeda.
“Di Jepang, perbandingan sampah organik dan non-organik berkisar 50:50. Sementara, di Surabaya sampah organik atau sampah basahnya mencapai 70 persen. Ini tentu menjadi pertimbangan tersendiri,” ujarnya. (goek)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS