JAKARTA – Anggota Fraksi PDI Perjuangan di Komisi II DPR RI Arif Wibowo, mengatakan, pangkal utama permasalahan munculnya fenomena calon tunggal terletak pada sistem pemilu Indonesia yang dinilai ‘mahal’ dan membutuhkan biaya tinggi.
Mahalnya biaya tersebut, cenderung terkonversi menjadi suburnya praktik money politic. Arif mencontohkan, ada calon petahana yang berani memberikan segala upaya yang bisa dia buat demi memperoleh dukungan semua partai politik (parpol) yang ada.
“Hal inilah yang menjadi faktor penting munculnya fenomena calon tunggal,” kata Arif Wibowo, kemarin.
Di sisi lain, tambah Arif, praktik money politic yang terjadi hingga tingkat pemilih. Hal ini juga membuat para calon lainnya, baik dari kalangan muda usia di parpol hingga yang dari jalur independen, berpikir dua kali sebelum memutuskan maju ke gelanggang.
Karena itu, dia mengaku tak setuju jika dikatakan bahwa calon tunggal ini disebabkan gagalnya kaderisasi. “Kaderisasi tak ada hubungannya dengan calon tunggal dan politik uang,” jelas dia.
Meski demikian, dia berpendapat, ke depan tetap diperlukan perubahan undang-undang (UU) untuk mengatasi situasi itu. Hanya saja, dirinya tidak sepakat apabila yang diubah adalah ambang batas pengajuan calon menjadi turun, atau membatasi jumlah dukungan parpol yang bisa didapatkan sepasang kandidat.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) ini lebih sepakat bila yang diperjelas di aturan adalah, semisal, pembedaan jelas antara parpol pendukung atau parpol pengusung calon kepala daerah.
“Pembedaannya harus jelas. Ya kira-kira, kalau diperjelas, parpol takkan mau jadi sekadar pendukung, dia harus jadi pengusung,” ujarnya.
Namun, poin utama perubahan adalah soal bagaimana sistem harus dibangun sehingga pemilu dan pilkada di Indonesia tak lagi mahal, yang akan cenderung menghasilkan pragmatisme politik. (goek)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS