MALANG – Batik merupakan warisan budaya Indonesia yang sudah diakui oleh dunia internasional. UNESCO memutuskan batik Indonesia sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-bendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity). Karenanya, kita perlu berupaya untuk melestarikannya, dengan menghasilkan pembatik-pembatik yang baru.
Soepriyanto, seorang pembatik tulis berjuang mempertahankan usaha membatiknya di tengah pandemic covid-19. Dia merintis usaha membatik sejak tahun 2017. “Saya mengawali membatik tahun 2015, saat menjadi peserta pelatihan batik yang diselenggarakan di desa saya. Setelah pelatihan itu, saya mengembangkan sendiri selama 2 tahun, di sekitar 2017 saya mendirikan usaha sendiri,” tutur Soepriyanto.
Lelaki yang menjabat Sekretaris Pengurus Anak Cabang (PAC) PDI Perjuangan Kecamatan Bantur sekaligus Wakil Ketua Paguyuban Pengerajin Batik se-Kabupaten Malang tersebut, juga menjelaskan ciri khas dari kain batik yang diproduksi di Malang..
“Batik Malang ini paling berani. Para pembatik malang itu berani melakukan eksperimen. Pakemnya batik itu biasanya kita terjang. Makanya kalau ada pertanyaan muncul, opo motif batik Malang, ya kita saya jawab kontemporer gitu aja,” terangnya.
Keputusan Soepriyanto berani mengambil langkah untuk berbeda dari pengerajin batik tulis lainnya bukan tanpa alasan. Menurutnya, sudah seharusnya batik Malang memiliki ciri khas tersendiri, dengan catatan tidak menghilangkan unsur-unsur dari batik itu sendiri.
“Kalau kita lihat di sejarah batik dan motif batik, itu banyak terinspirasi dari relief candi. Kalau kita ngomongkan candi itu, ya paling banyak ada ada di Malang. Cuma, karena didahului dari Jawa Tengah, akhirnya kita mengekor untuk pembuatan motif dari batik Malang. Sebenarnya kita juga masih mengikuti pola yang dibuat oleh kawan-kawan pengrajin di Jawa Tengah. Cuma kita buat modifikasi supaya ada yang membedakan,” tambah Soepriyanto.
Tidak sekedar membuat Batik, Soepriyanto juga sering mengadakan pelatihan membatik bagi masyarakat umum. Dia berharap, ilmu dan pengalaman yang diberikan pada masyarakat dalam melestarikan tradisi membatik. Sejauh ini, peserta pelatihan yang mampu bertahan hanya bisa dihitung dengan jari.
“Kita pernah mengadakan pelatihan sebanyak 30, yang tersisa untuk meneruskan cuma sekitar 5 sampai 7 orang,” ujarnya.
Di samping kesulitan dalam melakukan regenerasi pembatik, Soepriyanto juga harus berhadapan dengan kondisi pandemi Covid-19 yang tak menentu. Bisnis batik yang ditekuni merasakan betul dampak pembatasan kegiatan karena pandemi Covid-19 itu.
“Sangat-sangat berdampak. Sebelum pandemi, dalam satu bulan saya masih bisa meraup laba kotor kisaran Rp. 20 juta sampai Rp. 40 juta. Saat pandemi semacam ini 1 tahun terakhir ini produk kita hanya laku 2. Itu pun yang harganya Rp1.500.000,” ucap Soepriyanto dengan nada menahan sesak.
Seperti para kader banteng lainnya, Soepriyanto tidak langsung menyerah. Ia melakukan inovasi-inovasi baru dan terus memanfaatkan peluang yang ada dalam memasarkan batik produksinya.
“Kita buat packagingnya yang lebih lebih elegan, lebih terlihat tampilannya sehingga menarik dari segi pemasaran. Pada bulan kemarin kita juga ikut pameran di Grand City,” ujarnya.
Soepriyanto mungkin satu dari puluhan, bahkan ratusan pengerajin batik di Kabupaten Malang yang berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan akibat pandemi Covid-19. Namun, itu tidak menyurutkan semangat dan tekad Soepriyanto untuk melestarikan batik di Malang. Di tengah keterbatasannya, Soepriyanto tetap melakukan pelatihan untuk pembekalan kepada pengerajin batik di Kabupaten Malang. Dia punya semangat yang menyala untuk terus melahirkan pembatik-pembatik baru. Satu semangat yang lahir bukan semata-mata karena bisnis batik. Lebih dari itu, Soepriyanto juga sadar dan cinta, bahwa batik sebagai warisan budaya Indonesia harus dilestarikan. (Eka/53T)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS