RATUSAN orang berkerumun di depan rumah Bung Karno, Jl Pegangsaan Timur, Jakarta. Saat itu, 17 Agustus 1945 pagi beranjak siang. Massa menantikan prosesi proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Acara dimulai. Naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan Bung Karno. Selanjutnya, pengibaran bendera merah putih yang beberapa waktu sebelumnya dijahit dengan tangan oleh Fatmawati, isteri Sukarno.
“Inilah bendera resmi yang pertama dari Republik. Tiang benderanya berupa batang bambu panjang yang ditancapkan ke tanah beberapa saat sebelum itu,” cerita Sukarno ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, terbitan Yayasan Bung Karno.
Ihwal pengibaran bendera ketika itu, Bung Karno mengatakan tidak ada orang yang ditugaskan secara khusus. “Tidak ada persiapan untuk itu. Dan tak seorang pun berpikir sejauh itu.”
Berbagai literasi sejarah menyebutkan, ada tiga orang yang berperan dalam pengibaran bendera di hari proklamasi kemerdekaan. Yakni, Latief Hendraningrat, Suhud Sastrokusumo, dan Surastri Karma Trimurti.
Namun, belum ada protokoler resmi. Bahkan arahan pun tidak. Terjadi begitu saja dan spontan mengambil peran.
Suhud mengambil bendera dari baki yang dibawa Trimurti. Kemudian diberikan kepada Latief. Bendera diikatkan pada tali kemudian dikerek di tiang bambu bekas tiang jemuran.
“Saat itu pukul 10. Revolusi sudah dimulai,” kata Bung Karno.
Terpikir di Yogyakarta
Menjelang peringatan satu tahun proklamasi kemerdekaan RI. Tepatnya tahun 1946.
Saat itu, pusat pemerintahan sekaligus ibu kota Indonesia di pindahkan di Yogyakarta, seiring kedatangan kembali Belanda dan melakukan operasi besar-besaran terutama di Jakarta.
Baca juga: Kisah Penyelamatan Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih
Presiden Sukarno memerintahkan Mayor (laut) Husein Mutahar, salah seorang ajudannya, untuk menyiapkan pengibaran bendera pusaka di halaman Istana Gedung Agung Yogyakarta.
Husein Mutahar memutar otak menyusul perintah itu. Berbagai skema dipikirkan.
Melansir laman Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Mutahar sempat berpikir pengibaran bendera pusaka
dilakukan oleh para pemuda dari
seluruh penjuru Tanah Air.
Tetapi, karena gagasan
itu tidak mungkin terlaksana
maka Mutahar hanya bisa
menghadirkan lima orang pemuda. Tiga putra dan dua putri yang berasal dari berbagai daerah dan kebetulan sedang berada di
Yogyakarta. Lima orang tersebut melambangkan Pancasila.
Sejak itu, sampai tahun 1949, pengibaran bendera di Yogyakarta tetap dilaksanakan dengan cara yang sama. Ketika Ibu kota dikembalikan ke Jakarta pada tahun 1950, Mutahar tidak lagi menangani pengibaran bendera pusaka. Pengibaran bendera pusaka di Istana Merdeka dilaksanakan oleh Rumah Tangga Kepresidenan sampai tahun 1966.
Formasi Mutakhir
Pada 1967, rezim berganti. Presiden Suharto memanggil Husein Mutahar untuk menangani pengibaran bendera pusaka.
Dengan ide dasar dari pelaksanaan tahun 1946 di Yogyakarta, dia kemudian mengembangkan lagi formasi pengibaran menjadi 3 kelompok yang dinamai sesuai jumlah anggotanya.
Baca juga: Megawati Ungkap Rasa Bangganya Saat Jadi Paskibraka
Pasukan 17 yakni pengiring atau pemandu. Pasukan 8 atau pembawa bendera (inti). Pasukan 45 atau pengawal. Jumlah keseluruhan pasukan sebanyak 70 orang.
Formasi itu sendiri simbolisasi dari waktu kemerdekaan, tanggal 17 bulan 8 tahun 1945.
Sementara itu, mengutip dari laman indonesia.go.id istilah paskibraka atau singkatan dari Pasukan Pengibar Bendera Pusaka baru dibakukan pada 1973. Sebelum ini adalah petugas pengerek bendera pusaka.
Istilah Paskibraka oleh Idik Sulaeman, adik dari Husein Mutahar. (hs)
Foto: kemdikbud.go.id
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS