SOAL bantuan sosial, khususnya bantuan langsung dalam bentuk bahan makanan dan uang tunai, ramai menjadi polemik. Musababnya, peristiwa itu terjadi menjelang pemilu dan diputuskan oleh pemerintah untuk menambahkan besaran alokasinya dan tempo pelaksanaanya.
Agar kebijakan ini jernih, dan memang diperlukan untuk menopang kebutuhan hidup rakyat, sebagai Ketua Badan Anggaran DPR, saya berkewajiban untuk ikut menjernihkan kebijakan ini dalam kerangka maksud dan tujuan APBN.
Tidak semua kebutuhan pangan bisa kita penuhi sendiri, sebagiannya kita beli dari negara lain melalui impor. Resikonya, harga dan stok pangan nasional sangat dipengaruhi banyak hal: harga di luar negeri, biaya transportasi, stoknya, dan kurs. Sementara di dalam negeri, pada kuartal II dan III 2023 kita menghadapi bencana El Nino, musim kering yang panjang, yang mengakibatkan banyak sawah gagal panen.
Efek impor pangan dengan harga tinggi, khususnya beras yang naik di pasar internasional sejak Juli 2023 dan bencana El Nino, berdampak pada kenaikan inflasi pada makanan. Inflasi makanan sejak Agustus – November 2023 mengalami tren peningkatan, dari 2,8 persen menanjak menjadi 4,9 persen. Posisi ini membuat inflasi makanan jauh lebih tinggi dari inflasi tahunan pada November 2023 sebesar 2,86 persen. Per Oktober 2023 lalu kenaikan harga beras mencapai 19 persen secara year on year.
Padahal, lebih dari 70 persen pengeluaran rumah tangga miskin untuk kebutuhan makanan, dan dari jumlah itu, 20 an persen di antaranya untuk belanja beras. Sehingga setiap kenaikan harga makanan, terutama beras, akan berdampak serius terhadap daya beli rumah tangga miskin.
Bertolak dari persoalan di atas, kita bisa pahami, bila pemerintah melalui APBN 2023 menggulirkan beberapa program untuk meringankan beban rakyat miskin; di antaranya, 6 program bantuan sosial (bansos) baru yang digulirkan oleh pemerintah. Dua di antaranya terkait dengan makanan dan uang tunai, yakni, Bantuan Langsung Tunai (BLT) El Nino, dan tambahan bantuan beras, sedangkan empat lainnya terkait insentif pada sektor perumahan dan UMKM.
Kita patut apresiasi kebijakan ini sebagai strategi untuk memberikan perlindungan kepada rumah tangga miskin dari volatilitas harga makanan, khususnya beras. Pemberian bantuan uang tunai juga akan menambah daya tahan rumah tangga miskin agar tidak semakin melorot. Namun kita harus hati-hati terhadap kebijakan program bansos beras dan BLT dalam beragam bentuknya.
Bank Dunia pada tahun 2018 menurunkan sebuah laporan terhadap pelaksanaan program bansos di Indonesia. Laporan itu menunjukkan efektivitas program bansos untuk menekan kemiskinan dan ketimpangan belum optimal. Efektivitas program bansos tidak optimal berpangkal pada pelaksanaan teknis kebijakannya. Khusus untuk bansos beras, Bank Dunia memberi perhatian sebagai bansos yang paling tidak tepat sasaran.
Reformasi Kebijakan
Hemat saya, ada dua hal penting yang perlu dijelaskan oleh pemerintah dalam konteks mengembangkan program bansos menjelang Pemilu 2024. Pertama, terkait aspek politik, dan kedua aspek operasional. Setiap produk kebijakan publik tentu saja bagian dari political interest. Penting bagi pemerintah untuk menjelaskan kepada rakyat bahwa political interest pengembangan bansos untuk menjawab persoalan ancaman krisis pangan, meningkatnya kerentanan rumah tangga miskin, serta menjaga pertumbuhan ekonomi sesuai target APBN 2023.
Untuk meyakinkan publik dan menopang penjelasan dari aspek political interest di atas, pemerintah perlu menjabarkan tata kelola operasional program bansos secara governance. Sebab itu, saya menyarankan kepada pemerintah menempuh beberapa hal terkait, antara lain, pertama, pemerintah perlu terus menyempurnakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang menjadi kewenangan Kementerian Sosial. Penyempurnaan DTKS hingga ke level desa dan kelurahan harus melibatkan partisipasi luas masyarakat. Sesegera mungkin menyelesaikan sinkronisasi DTKS dengan Data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek), sehingga kesatuan data itu menjadi penyempurnaan DTKS. DTKS menjadi acuan keseluruhan dari seluruh program bansos, berdasarkan tipologi kelompok sasaran dari masing masing program.
Kedua, menyederhanakan proses bisnis dalam setiap program penyaluran bansos dengan bertumpu pada cashless, digitalize, dan open data sebagai cara untuk mengurangi interaksi antarpihak, menjaga akuntabilitas, dan partisipasi publik. Khusus untuk bantuan beras yang dimobilisasi oleh Bulog sampai ke desa perlu pengawasan banyak pihak.
Ketiga, memastikan pengemasan program bansos beras hanya ada gambar foto lambang negara atau gambar lainnya yang tidak terasosiasi dengan tafsir politik, karena pelaksanaannya menjelang pemilu 2024. Sehingga pemerintah makin menunjukkan aspek teknokrasinya, bahwa program ini memang semata-mata ditujukan untuk rakyat miskin menghadapi kenaikan harga kebutuhan pangan.
Keempat, bekerja sama dengan bank penyalur Kredit Usaha Rakyat (KUR) UMKM untuk melihat pola transaksi usaha, sehingga pemerintah memiliki big data tentang UMKM penerima KUR atas kecenderungan usahanya. Hal penting lainnya, memastikan bahwa kelompok rumah tangga miskin ekstrem bisa naik kelas, bisa memilki usaha produktif agar hidup mereka tidak terus menerus bergantung pada bantuan bansos pemerintah.
Kelima, penerima BLT El Nino adalah para penerima manfaat atas program PKH, pemerintah harus bisa mengatur agar BLT El Nino skema penyalurannya hanya bisa digunakan untuk pembelian bahan makanan non-beras, sehingga pencairannya untuk menopang kebutuhan makanan non-beras, agar tidak tumpang-tindih dengan penyaluran PKH “regular” dan bansos beras. (*)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS