HANYA berselang sebulan setelah dilantik, Presiden Joko Widodo menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar. Meskipun langkah ini mengundang berbagai kritik, secara umum publik masih tetap menaruh kepercayaan terhadap langkah pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Media massa telah menyiarkan tarik ulur rencana kenaikan harga BBM sejak akhir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, hingga masa jabatan Yudhoyono berakhir, harga BBM tetap “bergeming”. Presiden Yudhoyono tetap tidak mau menaikkan harga BBM. Kini, tak lama setelah dilantik, Presiden Jokowi mengumumkan kebijakan pengalihan subsidi di sektor konsumtif ke sektor produktif yang berdampak pada kenaikan harga BBM.
Hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu, yang secara khusus menggali opini publik tentang kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, menunjukkan penilaian positif. Secara umum, hampir dua pertiga responden (61,7 persen) setuju dengan keputusan Jokowi menaikkan harga BBM. Adapun 36,7 persen responden menyatakan tidak setuju.
Meski demikian, proporsi dukungan publik memang berbeda antara pemilih Jokowi dan pemilih Prabowo Subianto. Jika menilik pilihan saat Pemilu Presiden 2014 lalu, tampak proporsi responden pemilih Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang menolak kebijakan ini cukup besar. Berkebalikan dengan dukungan dari pemilih Jokowi, hanya 39,5 persen responden pemilih Prabowo yang menerima kebijakan kenaikan harga BBM. Jadi, hampir dua pertiga responden pemilih Prabowo menolak.
Dukungan terhadap kebijakan pemerintahan Jokowi-Kalla ini berbeda dengan dukungan terhadap pemerintahan sebelumnya saat harga BBM dinaikkan. Pada jajak pendapat Februari 2005, misalnya, lebih dari separuh responden menolak subsidi harga BBM dikurangi. Saat itu, mereka menilai kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM memberatkan kehidupan masyarakat. Jajak pendapat Juni 2013 pun menunjukkan, lebih dari separuh responden tidak setuju dengan kebijakan pemerintahan Yudhoyono menaikkan harga BBM.
Akan tetapi, penolakan tersebut tidak diiringi dengan hilangnya kepercayaan terhadap pemerintahan Jokowi-Kalla. Hampir semua pemilih Jokowi-Kalla dan dua pertiga pemilih Prabowo-Hatta menyatakan tetap memercayai pemerintahan Jokowi-Kalla meski harga BBM dinaikkan. Adapun proporsi pemilih Prabowo yang kehilangan kepercayaan kepada pemerintah pasca-kenaikan harga BBM sebesar 30,2 persen.
Hampir semua responden terus mengikuti berita tentang rencana pemerintah mengurangi subsidi harga BBM tersebut. Karena itu, pada saat hal itu dilaksanakan, mereka sudah relatif mengantisipasi. Menurut pengakuan enam dari setiap sepuluh responden, mereka tidak terkejut ketika kenaikan harga BBM akhirnya dilaksanakan.
Khawatir dampak
Di tengah apresiasi positif terhadap kebijakan kenaikan harga BBM, tetap muncul kekhawatiran responden terhadap dampak kenaikan harga BBM itu. Di tataran masyarakat, selain mengkhawatirkan kenaikan harga bahan pokok, responden juga mengkhawatirkan kenaikan harga BBM yang akan berdampak pada meningkatnya biaya transportasi, penambahan warga miskin, tindak kriminalitas, dan konflik sosial di masyarakat.
Di tataran individu atau keluarga, dua pertiga responden juga mengkhawatirkan melonjaknya pengeluaran keluarga akibat kenaikan harga barang dan konsumsi rumah tangga. Namun, sebagian besar publik menyatakan sudah menyadari harus melakukan berbagai strategi untuk menyiasati peningkatan pengeluaran keluarga.
Strategi yang dilakukan oleh lebih dari separuh responden adalah berhemat atau mengurangi pengeluaran. Strategi berhemat ditujukan pada kegiatan-kegiatan di luar kebutuhan pokok, seperti mengurangi konsumsi listrik, air, dan pulsa telepon (40 persen). Strategi lain adalah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan mulai beralih ke transportasi umum (14 persen), di samping mengurangi konsumsi makanan (10 persen).
Selain berhemat, jajak pendapat ini juga merekam sikap publik yang mulai beralih dari BBM bersubsidi ke BBM nonsubsidi. Meskipun sebagian besar responden pengguna kendaraan pribadi masih tetap menggunakan bahan bakar yang sama dengan sebelumnya, ada kecenderungan responden mulai beralih menggunakan BBM nonsubsidi, seperti disuarakan sepertiga responden.
Mereka yang mengaku beralih ke bahan bakar nonsubsidi terutama dari kalangan berpendidikan tinggi. Selisih harga yang tidak terlalu besar antara BBM subsidi dan nonsubsidi (sekitar Rp 2.000 dari sebelumnya Rp 4.000) merupakan alasan utama mereka memilih BBM nonsubsidi, di samping soal kualitas bahan bakar yang lebih baik.
Sektor produktif
Saat memberi pengantar sebelum mengumumkan kenaikan harga BBM, Jokowi menjelaskan alasan pemerintahannya menaikkan harga BBM, yakni untuk mengalihkan subsidi harga BBM dari sektor konsumtif ke sektor produktif. Selama ini, negara membutuhkan anggaran cukup besar untuk membangun infrastruktur, terutama pertanian dan kelautan. Namun, anggaran ini tidak tersedia karena beban yang cukup besar diberikan untuk subsidi harga BBM.
Jokowi menyebutkan, langkah mengurangi subsidi harga BBM akan menambah ruang fiskal Rp 110 triliun-Rp 150 triliun untuk pemerintah tahun 2015. Dana itu dapat digunakan untuk program-program yang lebih produktif bagi kesejahteraan rakyat, seperti pembangunan infrastruktur maritim dan pertanian serta program perlindungan sosial warga kurang mampu.
Mengenai alasan harga BBM dinaikkan, enam dari sepuluh responden memercayainya. Bahkan, mereka yakin pengalihan subsidi itu akan digunakan pemerintah untuk membiayai program pro-rakyat. Sebanyak dua pertiga bagian responden yakin pengurangan subsidi harga BBM itu akan digunakan untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur yang pro-rakyat. Program infrastruktur itu antara lain pembangunan tol laut, waduk dan irigasi, serta jalan dan jalur kereta api.
Tak bisa dimungkiri, warga miskin merupakan kelompok yang paling rentan terhadap kenaikan harga BBM. Terkait kenaikan harga BBM itu, 59 persen responden meyakini program perlindungan sosial bagi warga miskin mampu mengurangi beban warga miskin. Melihat tingkat pendidikan responden, keyakinan pada program tersebut disuarakan, terutama oleh mereka yang berpendidikan tinggi.
Meski program perlindungan sosial itu meneruskan program dari pemerintahan sebelumnya yang berwujud bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), 52 persen responden menilai program itu akan efektif mengatasi dampak kenaikan harga BBM bagi warga miskin. Hampir 60 persen responden yakin program itu bisa mengurangi jumlah keluarga miskin.
Penilaian itu menunjukkan, publik lebih memercayai pemerintah baru dibandingkan dengan sebelumnya. Hasil jajak pendapat Juni 2013 lalu mengungkap, lebih dari dua pertiga bagian responden meyakini, dana BLSM tidak tepat sasaran dan tak mampu mengurangi jumlah keluarga miskin.
Dukungan publik terhadap kebijakan Jokowi-Kalla ini merupakan angin segar bagi perubahan rezim anggaran yang efisien, produktif, dan pro-rakyat. Meskipun demikian, hal itu harus ditopang oleh kerja keras birokrasi mewujudkan kesejahteraan. (Dwi Erianto/Litbang Kompas)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS