Melawan Tekanan dengan Politik Kegembiraan
Mata-mata tak henti mengawasi. Jalan santai di pantai menjadi strategi untuk menjaga semangat rakyat mempertahankan kemerdekaan.
MATA RA Indrawati (83 tahun) menerawang. Ingatannya melesat ke masa lampau. Sesaat kemudian, senyum kecil mengulas di bibirnya. “Keseharian Bung Karno gembira saja. Tak pernah tampak bersedih,” tutur RA Indrawati dijumpai www.pdiperjuangan-jatim.com di rumahnya, Jl Kejaksaan, Muntok, Kabupaten Bangka Barat, Minggu (2/5/2016) siang.
RA Indrawati atau lebih dikenal warga setempat dengan panggilan Nyi Mas, termasuk salah seorang saksi hidup yang pernah berinteraksi langsung dengan Bung Karno saat menjalani masa pembuangan di Wisma Ranggam, Muntok, tahun 1949.
(Baca: Mempertahankan Kemerdekaan di Bukit Menumbing)
Ketika itu RA Indrawati bekerja sebagai juru tulis di perusahaan timah milik Belanda. Namun, Ia dan dua rekannya, Saudah dan Zuaidah, mendapat tugas tambahan untuk menyiapkan makan siang dan sore di Wisma Ranggam sejak bangunan itu menjadi rumah pembuangan bagi Bung Karno dan H Agus Salim. “Saat itu umur saya 19 tahun,” katanya.
Tak jarang pula ketiganya diajak makan bersama. Termasuk turut mendengarkan perbincangan kedua tokoh bangsa itu. “Perbincangan ini rahasia. Jangan pernah disampaikan kepada siapapun, Nak,” kata RA Indrawati menirukan pesan Bung Karno.
“Bapak (Bung Karno) biasa memangil saya dengan sebutan Nak (anak). Saat itu saya masih pacaran dengan suami (almarhum Abdullah Jamaluddin). Bapak meminta kami berdua untuk segera menikah. Tapi kami belum siap waktu itu,” sambung RA Indrawati.
Di sela-sela makan bersama, RA Indrawati juga diminta mengganti Mawar Merah yang layu di meja kamar Bung Karno. Hal itu rutin ia kerjakan tiap tiga hari sekali. Dari situ RA Indrawati mengetahui banyak kertas dan dokumen tertumpuk di meja kamar Bung Karno. “Tapi saya tidak berani melihat (membaca) isinya,” katanya.
Foto saat Bung Karno berjalan di sepanjang pantai antara Pesanggrahan Muntok ke Tanjung Kelian misalnya. Terlihat bagaimana senyum Bung Karno mengembang. Begitu juga warga dan anak-anak yang berjalan mengiringinya. “Bung Karno memang senang berjalan-jalan di pantai saat sore,” kata RA Indrawati.
Jalan santai di pantai bersama anak-anak kecil rupanya strategi Bung Karno untuk menjaga semangat rakyatnya. Tidak sekadar jalan-jalan, ia kerap mampir dan berhenti di rumah penduduk dan mengajak berbincang. Diam-diam pula Bung Karno juga mengorganisir para pemuda dengan membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API) dan Perkumpulan Olahraga Republik Indonesia (PORI).
Menyisir pantai yang semula dilakukan Bung Karno bersama anak-anak, lambat laun mulai diikuti banyak orang. Para pemuda yang tergabung dalam dua organisasi bentukannya belakangan turut bergabung. Mars dan panji-panji PORI turut dinyanyikan dan dikibarkan. Peristiwa tersebut diabadikan juru foto dan kemudian menyebar di media massa.
Belanda gerah dan mulai melakukan penyelidikan. Sebab dalam foto hitam putih kala itu tampak Bung Karno dan kerumunan massa seperti sedang mengarak bendera merah-putih. Namun Belanda terkecoh. Pasalnya, “Itu bendera PORI. Warnanya biru-putih ada lambangnya di bagian tengah. Tapi (dalam foto) lambangnya tertutup karena bendera terlipat kena angin,” kenang RA Indrawati.
Peristiwa tersebut menjadi kenangan tak terlupakan bagi sebagian warga Muntok. Menjadi cerita yang diwariskan turun temurun. Masyarakat setempat mengabadikan acara jalan santai di pantai seperti biasa dilakukan Bung Karno sebagai acara napak tilas yang rutin diadakan setiap setahun sekali. (hs)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS