Dari sini silsilah keluarga dan kecintaan Bung Karno kepada wong cilik berakar.
BOCAH Sukarno harus berpisah dengan bapak dan ibunya saat berusia kanak-kanak, di bawah 6 tahun. Ia tinggal di Tulungagung, di tempat kakek dan neneknya, orang tua dari Raden Soekemi Sosrodihardjo, ayahanda dari Sukarno.
Perpisahan dengan orang tuanya atas permintaan sang nenek seperti diakui Sukarno dalam buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, karya Cindy Adams.
“Saat itu aku memasuki usia kanak-kanak, nenek dari pihak bapak berkata: Berikanlah anak itu kepadaku untuk sementara. Aku akan memeliharanya.”
Tinggal bersama kakek dan neneknya di Tulungagung Sukarno kecil tidaklah bergelimang harta. Namun, tidak kekurangan teramat sangat. Sebab sang nenek mempunyai usaha di bidang batik.
“Setidak-tidaknya dia sanggup memberiku makan,” kata Bung Karno.
Perihal silsilah keluarga Soekarno dari kakek dan neneknya di Tulungagung dibenarkan oleh Puti Guntur Soekarno cucu dari Bung Karno, atau anak dari Guntur Soekarno.
Hal ini disampaikan Puti saat berziarah ke makam kakek Bung Karno di komplek pemakaman umum di Kelurahan Kepatihan Kecamatan dan Kabupaten Tulungagung. Pada ziarah Senin, 26 Februari 2018 itu, pdiperjuangan-jatim.com berkesempatan melakukan peliputan.
“Tulungagung ini adalah akar dari keluarga saya, di sini ada (makam) eyangnya Bung Karno, Raden Hardjodikromo yang adalah bapaknya Soekemi Sosrodihardjo. Kalau ke saya jatuhnya canggah, saya ini punya darah Tulungagung,” kata Puti ketika itu.
Baca juga: Sukarno Lahir di Rumah Kontrakan Dekat Sungai Peneleh, Surabaya
Di komplek makam tersebut, juga terdapat pusara Sarinah.
Sarinah Dan Gerakan Perempuan Indonesia
Tinggal bersama kakek dan neneknya, Sukarno diasuh Sarinah.
“Pengasuh saya itu bernama Sarinah. Ia mbok (ibu) saya,” kata Bung Karno dalam kata pendahuluan yang ia tulis pada 3 November 1947 dalam buku berjudul: Sarinah.
“Ia membantu ibu saya, dan dari dia saya menerima rasa cinta dan rasa kasih. Dari dia saya mendapat banyak pelajaran mencintai ‘orang kecil’. Dia sendiripun ‘orang kecil’. Tetapi budinya selalu besar. Moga-moga Tuhan membalas kebaikan Sarinah itu.”
Pelajaran-pelajaran semasa kecil dari Sarinah membuat Bung Karno mengagumi sosoknya. Bahkan hasil pemikirannya tentang keterlibatan perempuan dalam politik, dalam perjuangan Indonesia, dituangkan dalam sebuah buku berjudul: Sarinah.
Buku Sarinah itu pula, menjadi materi ajar yang digunakan oleh Sukarno menggelar semacam kursus-kursus politik semasa tinggal di Yogyakarta.
“Tiap dua pekan sekali saya mengadakan kursus wanita,” kata Sukarno.
Buku Sarinah, secara garis besar berisi kewajiban wanita dalam perjuangan Republik Indonesia.
“Soal wanita adalah soal masyarakat! Sayang sekali, bahwa sosl wanita itu belum dipelajari sungguh-sungguh oleh pergerakan kita,” kata Sukarno.
Bung Karno sendiri mengakui, sejak lama ia berkeinginan menulis buku tentang pelibatan perempuan dalam pergerakan. Namun, tertunda karena berbagai penyebab.
“Tetapi sesudah kita memproklamasikan kemerdekaan, maka menurut pendapat saya, soal wanita itu perlu dengan segera dijelaskan dan dipopulerkan. Sebab kita tidak dapat menyusun negara dan tidak dapat menyusun masyarakat, jika kita tidak mengerti soal wanita.”
Buku Sarinah itu sendiri membahas sejumlah hal. Tentang perempuan, kedudukan perempuan dan laki-laki, sistem sosial patriarki dan matriarki, perempuan bergerak, dan perempuan dalam perjuangan Republik Indonesia. (hs)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS