Langkah Indonesia menuju poros maritim dunia diretas sejak 1 dekade ini. Bertalian dengan genetika dan akar kesejarahan nusantara: bangsa pelaut.
“USAHAKANLAH agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawala samudera,” pesan Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir Sukarno saat acara peresmian Institut Angkatan Laut pada 1953.
“Bangsa laut yang mempunyai armada niaga, bangsa laut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri,” imbuh sang penyambung lidah rakyat.
Amanat Presiden Sukarno pada acara tersebut menunjukkan betapa pentingnya sektor kelautan negeri ini. Sebuah pesan penting bagaimana negara ini, pemerintah dan rakyatnya, menjalani keseharian di negeri perairan bertabur 17 ribuan pulau dengan garis pantai terpanjang di dunia.
Sepuluh tahun setelah itu, tahun 1963, berlangsung Musyawarah Nasional Maritim I. Presiden Sukarno kemudian menetapkan tanggal 23 September sebagai Hari Maritim Nasional, dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 249/1964.
Keseriusan Sukarno dengan konsep kemaritimannya tercermin saat ia merumuskan konsep persenjataan angkatan laut yang tidak dimiliki negara lain saat itu. Yakni sistem kesenjataan Angkatan Laut, yaitu Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT). Terdiri dari kapal perang, pesawat udara, mariner, dan pangkalan.
“Kita juga generasi penerus baru paham kalau ternyata penggagas konsep SSAT TNI AL adalah Bung Karno,” ujar Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono, saat sarasehan Pembinaan Mental Ideologi dan Shipnaming KRI Bung Karno-396, Senin (20/6/2022) seperti dikutip dari indonesiadefense.com.
Menggarisi Laut
Para pendiri bangsa menyadari bagaimana geografis atau kondisi kewilayahan Indonesia. Sebuah daratan terdiri dari pulau-pulau, yang dikelilingi perairan atau laut. Karena itu, di tengah keraguan dunia internasional atas kedaulatan Indonesia, pemerintah memetakan wilayah perairan RI.
Perjuangan menentukan batas wilayah laut Indonesia dilakukan pada 1957. Pada 13 Desember 1957, pemerintah RI mengumumkan konsepsi NKRI atau nusantara yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda. Rumusan deklarasi ditindaklanjut dengan menerbitkan Undang-undang No 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
Adapun wilayah perairan Indonesia, adalah garis yang terhubung dari titik-titik tarikan pulau terluar sejauh 12 mil laut. Sebelumnya, sesuai aturan kolonial, TZMKO Nomor 442, adalah 3 mil laut.

Mengacu deklarasi Djuanda dan UU Perairan Indonesia, didapatkan garis batas wilayah laut Indonesia sepanjang 8.069,8 mil laut. Dari itu pula, praktis wilayah Indonesia melar 2,5 kali lipat dari semula 2.027.087 menjadi 5.193.250 kilometer persegi, dengan pengecualian Irian Jaya yang saat itu belum mendapatkan pengakuan internasional.
Upaya menggarisi laut dengan konsepsi nusantara dilakukan pemerintahan era Sukarno, mendapatkan pengakuan internasional pada 1982, sesuai konvensi hukum laut baru yang dikenal dengan nama konvensi humum laut 1982.
Jalur Rempah dan Kapal-kapal Induk Majapahit
Syair nenek moyangku orang pelaut pada lagu Nenek Moyangku karya Ibu Sud, kiranya dicipta bukan dari ide yang melangit, tapi dari realitas kesejarahan. Tengok saja berbagai literasi sejarah yang menyebutkan, kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada di nusantara mengusung konsepsi negara maritim. Seperti Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Demak, dan Banten.
Laut sebagai jalur bisnis antar-pulau di nusantara, hingga lintas negara seperti India, Afrika, dan China. Memperdagangkan merica, pala, cengkih, kapur barus, kesturi, mur, dan emas. Komoditas berharga ini tersebar di Nusantara, mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Maluku, hingga Papua.
Kala itu, Kawasan Nusantara sudah memiliki Pelabuhan-pelabuhan yang menjadi titik-titik penghubung perjalanan di laut. Kejaraan Sriwijaya telah menjalin hubungan dagang dengan Burma, Melayu Kalimantan, Siam, Kamboja, China, Filipina, Persia, Arab, dan Afrika.
Pada masa keemasannya, abad-abad awal hingga abad 11, Kerajaan Sriwijaya menguasai dua wilayah perairan penting dalam perdagangan Nusantara, yakni Selat Malaka, dan Selat Sunda sebagai jalur rempah. Hal itu kemudian membuat Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara.
Demikian pula era Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 yang menjadi penguasa baru lautan nusantara. Dengan kapal-kapal induk besar yang dikenal sebagai Jung Java, Majapahit memberikan perlindungan dalam bisnis perdagangan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di nusantara.

Jung Java dengan bobot rata-rata 600 ton, melebihi kapal bangsa Portugis yang telah gemar melaut di era itu. Jung Java terbesar dengan bobot 1.000 ton mampu mengangkut 800 prajurit. Kekuatan armada laut di bawah kepemimpinan Panglima Laut Majapahit, Mpu Nala, mempunyai motto: Jalesveva Jayamahe. Dalam bahasa Indonesia diartikan: Justru di laut kita jaya.
Menuju poros maritim dunia
PDI Perjuangan menugaskan kader-kadernya di eksekutif maupun legislatif, untuk membangkitkan kejayaan kemaritiman.
Berbagai kebijakan kemaritiman di laksanakan sejak era pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Mulai dari pemberantasan illegal fishing, pertahanan dan keamanan, penguatan budaya bahari dan berbagai bantuan untuk nelayan. Terkini, pertumbuhan produk domestik bruto perikanan di atas rata-rata PDB Nasional.
Upaya terus dilakukan. Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves), pada peringatan Hari maritim Nasional (HMN) tahun 2023 merayakannya dengan tema “Pembangunan Negara Kepulauan berwawasan Nusantara menuju Indonesia Emas 2045.”
Kementerian Marves mengajak semua pihak menjadikan HMN sebagai momentum dengan berkomitmen dalam menjaga, melindungi, dan mengelola sumber daya maritim dengan optimal. Sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan konektivitas antarpulau, dan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Saya ingin mengajak seluruh elemen masyarakat, pemerintah daerah, sektor swasta, akademisi, serta seluruh lapisan masyarakat untuk terus bersinergi dan bekerja sama dalam mewujudkan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia. Mari kita jaga kebersamaan dan semangat gotong royong dalam mewujudkan cita-cita besar bangsa Indonesia. Selamat Hari Maritim Nasional ke-59,” kata Menko Marves, Luhut Binsar pandjaitan dikutip dari situs resmi Kementerian Marves, maritim.go.id, Sabtu (23/9/2023).
Sementara itu, PDI Perjuangan tak sekadar menugaskan para kader di eksekutif maupun legislatif untuk berjuang menjadikan Indonesia kembali menjadi poros maritim dunia.
Secara kepartaian, PDI Perjuangan menugaskan kapal Rumah Sakit Apung Laksamana Malahayati untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan kesehatan untuk rakyat Indonesia yang tinggal di kawasan-kawasan pesisir dan pulau terpencil. (ftr/hs)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS