Sempat diambang kematian karena malaria, Sukarno turun langsung dalam operasi pembasmian. 63 juta penduduk terlindungi.
WABAH malaria menyerang Indonesia pada era 1950-an. Celakanya, republik yang masih berusia lima tahun terhitung sejak Proklamasi Kemerdekaan pada 1945, belum memiliki perangkat pelayanan kesehatan yang memadai untuk rakyatnya.
Alih-alih birokrasi yang mumpuni dalam mengurusi kesehatan. Negara yang baru betul-betul terbebas dari agresi militer ke-II Belanda pada 1946 hingga 1949, belum memiliki jumlah tenaga medis yang mencukupi.
Mengutip buku Memelihara Jiwa-Raga Bangsa: Ilmu Pengetahuan, Kesehatan Masyarakat, dan Pembangunan Indonesia di Era Soekarno (2019), Indonesia ketika itu kekurangan tenaga medis dan fasilitas kesehatan.
Dampaknya, tak ada akurasi data kesehatan hingga pelacakan gejala penyakit. Dan kerja-kerja birokrasi kesehatan yang tidak taktis dalam menangani sejumlah penyakit menjadi penyebab Indonesia rentan terserang wabah.
Wabah malaria yang cara penularannya melalui gigitan nyamuk Anopheles itu pun menyebabkan korban berjatuhan.
Dikutip dari Laman Dinas Kesehatan Provinsi Yogyakarta, dinkes.jogjaprov.go.id, ratusan ribu rakyat meninggal dunia saat wabah pada era 1950-an.
Saking seriusnya wabah, ditengah berbagai keterbatasan, pemerintah membentuk perangkat negara yang khusus menangani malaria.
Dinas Pembasmian Malaria dibentuk pada Tahun 1959. Bahkan Presiden Sukarno, turun langsung menyemprotkan racun pembasmi nyamuk penyebab malaria, Dichloro Diphenyl Trichloroethane (DDT) di Desa Kalasan Yogyakarta pada 12 November 1959.
Hal itu pula sebagai pertanda genderang perang melawan malaria. Penyemprotan dilakukan di rumah-rumah penduduk di berbagai wilayah. Disertai dengan sosialisasi besar-besaran ihwal malaria.
Peristiwa 12 November itu pula yang kemudian diperingati sebagai Hari Kesehatan Nasional saban tahunnya hingga sekarang.
Beberapa tahun melawan wabah, tepatnya pada Januari 1963, Dinas Pembasmian Malaria berubah nama menjadi KOPEM (Komando Operasi Pembasmian Malaria). Pemberantasan malaria juga dilaksanakan berjangka panjang hingga 1970 dengan menggandeng WHO.
Pada 1964, atau lima tahun semenjak genderang perang melawan malaria digaungkan Presiden Sukarno pada 1959, sebanyak 63 juta penduduk Indonesia telah mendapat perlindungan dari malaria.
Malaria di Kehidupan Sukarno
Pemberantasan malaria secara besar-besaran ketika itu karena banyaknya jumlah warga yang meninggal dunia.
Bahkan Sukarno, sempat diambang kematian karena penyakit ini jauh waktu sebelum terjadinya wabah. Saat itu, Sukarno masih anak-anak.
Malaria-nya pun tercatat beberapa kali kambuh. Saat menjalani pengasingan di Ende Flores pada 1933 misalnya. Dokter yang memeriksa Sukarno ketika itu juga mengungkapkan ajal sempat mendekati Sukarno.
Demikian pula beberapa jam sebelum naskah Proklamasi Kemerdekaan RI dibacakan pada 17 Agustus 1945 jam 10.00. Dokter R Soeharto mendapati Bung Karno dalam kondisi demam tinggi pada pukul 07.00.
Sang dokter memberikan tindakan medis. Sementara Bung Karno membatalkan puasanya meski beberapa jam sebelumnya sempat makan sahur bersama Mohammad Hatta. Alkisah, proklamasi kemerdekaan pun berhasil dilakukan.
Perihal malaria yang menjangkitinya juga diakui sendiri oleh Sukarno seperti dikutip dari Buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, ditulis Cindy Adams.
“Sebenarnya keadaanku tidak dapat dikatakan sehat di tahun 1943, baik jasmani maupun rohani. Ketegangan‐ketegangan yang timbul telah mengorek‐ngorek jiwa dan ragaku dengan hebat.”
“Sebagai penderita malaria yang melarut aku dimasukkan ke rumah sakit selama berminggu‐minggu terus‐menerus.” (mtd/hs)
Artikel ditulis oleh Fathir dalam program magang jurnalistik kehumasan di Unit Media DPD PDI Perjuangan Jatim.
Foto: perpusnas.go.id
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS