Cap ‘anti-Islam’ kepada Soekarno Tak Membuat Pengikutnya Mendendam

Loading

JAKARTA – Ketua Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) Ahmad Basarah menganggap pengakuan negara atas kekeliruan tuduhan terhadap Presiden RI pertama Soekarno soal pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) belumlah tuntas.

Bahkan hal itu sampai berimbas kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dicap sebagai ‘PKI’ oleh sejumlah pengadu domba bangsa.

Wasekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengatakan, awal mula Bung Karno dituduh anti-Islam lantaran membubarkan partai Masyumi pada 1961.

Padahal, dalam keppres pembubarannya sama sekali tak ada konsideran agama. Tapi lebih karena keterlibatan dalam pemberontakan PRRI. Hal sama juga diberikan terhadap Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Lalu pada TAP MPRS nomor 33 tahun 1967, eksplisit dituduhkan Soekarno mendukung pembrontakan PKI, walau tuduhannya tak pernah dibuktikan secara hukum.

Sebenarnya, ada salah satu konsideran pada TAP itu yang memerintahkan pemerintahan Orde Baru (Orba) memproses dan menyelidiki kebenaran tuduhan itu. Namun hingga wafatnya Bung Karno pada 1970, hal itu belum pernah dilakukan.

“Akibatnya, Bung Karno harus meninggal dunia dengan membawa beban berat bagi dirinya, keluarga, dan pengikutnya, karena dituduh mengkhianati negara yang dia dirikan, dan berkhianat pada kepemimpinan negara yang dia pimpin sendiri,” kata Basarah.

Hal itu disampaikan Basarah dalam diskusi yang digelar PA GMNI dalam rangka Haul Soekarno ke-49 di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (21/6/2019).

Basarah menuturkan, melalui Keppres 83/2012 tentang pengangkatan Bung Karno sebagai pahlawan nasional, barulah tuduhan itu diralat. Sebab salah satu syarat pemberian gelar itu adalah tokohnya tak pernah berkhianat kepada negara, sehingga tuduhan itu gugur demi hukum.

Adanya cap ‘anti Islam’ kepada Soekarno tak membuat para pengikutnya mendendam. Bahkan saat era orde baru Megawati Soekarnoputri dengan lantang meminta agar orba tak dihujat berlebihan supaya rekonsiliasi nasional terjaga.

Prinsip itu terjadi juga ketika Ruslan Abdulgani mendatangi Soekarno untuk meminta agar sang proklamator RI melawan. “Namun kata Bung Karno ke Cak Ruslan, biarlah penderitaan ini aku tanggung sendiri agar bangsa dan negaraku tak terpecah belah,” kata Basarah.

Di tempat yang sama, mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal (Purn) TNI Budiman menyatakan, Presiden RI pertama Soekarno bukanlah seorang pengkhianat seperti yang dituduhkan oleh rezim orde baru (orba) pada masa lampau. Dia menegaskan nasionalisme pria berjuluk Sang Proklmator itu tidak seharusnya diragukan oleh siapapun.

“Tidak mungkin beliau pengkhianat. Beliau lah yang mencanangkan Pancasila,” kata Budiman.

Tudingan Soekarno seorang pengkhianat semakin terbantahkan dengan keputusan Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memberikan gelar pahlawan nasional kepada pendahulunya itu.

Sedang Ketua Umum Syarikat Islam Hamdan Zoelva, juga menyatakan, Soekarno merupakan sosok yang memahami secara substansi aspek nasionalis dan Islam. Dua dasar pemahaman itu bahkan mengantarkan Bung Karno sebagai pemimpin yang lengkap dalam menyusun pondasi bernegara.

Hamdan menceritakan, pertama kali Soekarno digembleng tentang keislaman lewat Oemar Said Tjokroaminoto. Saat itu, Soekarno tinggal bersama dengan Tjokroaminoto selama lima tahun di Surabaya, Jawa Timur.

Selain itu, Tjokroaminoto bahkan menulis sebuah buku yang bersifat sosialisme Islam yang menjadi rujukan perjuangan Soekarno. Sebab, para pendiri bangsa tidak menyukai imperialisme dan kapitalisme.

Namun, Hamdan mengingatkan bahwa sosialisme Islam sangat berbeda dengan sosialis Marxisme. “Tapi sosialisme berketuhanan. Inilah cikal bakal yang melahirkan Pancasila,” kata Hamdan.

Keislaman Soekarno semakin dalam ketika diasingkan ke Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) oleh kolonial Belanda. Di situ Soekarno banyak membaca banyak literasi tentang Islam.

“Bacaannya hanya buku-buku Islam. Hanya hadis yang sahih riyawat Bukhari dan Muslim,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu. (goek/*)