TEPAT di pengujung tahun, 31 Desember 1931, Bung Karno menghirup udara bebas setelah sekian waktu dipenjarakan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda di Sukamiskin, Bandung.
Namun, tak sampai sepekan berdiam di rumah Bandung, Sukarno buru-buru terjun ke gelanggang juang. Menghadiri Kongres Indonesia Raya yang digelar di Surabaya pada 1-3 Januari 1932.
Kabar keberangkatannya dari Bandung ke Surabaya berembus kencang. Media massa menjadikan peristiwa itu sebagai tajuk utama. Di Surabaya, ribuan massa menyambut pemuda kelahiran Pandean, Kota Surabaya, 6 Juni 1901 itu.
Di tempat kongres, Sukarno berpidato tentang pentingnya persatuan untuk mengusir penjajah.
“Kecintaanku terhadap tanah air kita ini belumlah padam. Aku bertekad untuk berjuang,” kata Bung Karno mengakhiri pidatonya, seperti dikutip dari buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia ditulis Cindy Adams, Edisi Revisi terbitan Yayasan Bung Karno, 2007.
Usai menyalakan semangat massa di kongres Surabaya, Sukarno terus bergerak. Berpidato dari panggung ke panggung, menghadiri forum dan berbagai rapat.
Tak cukup itu. Bung Karno juga mengobarkan perlawanan dengan membuat tulisan di media massa dan media alternatif lainnya.
Di media massa, Fikiran Rakyat, Ia mengulas peristiwa pemberontakan di Kapal Zeven Provincien.
Tentang orang-orang Indonesia yang menjadi anak buah kapal melawan para perwira, orang-orang pemerintah kolonial.
Pemerintah Murka
Melalui tulisan, Bung Karno tak henti memblejeti pemerintah sekaligus mendidik massa cara berlawan. Kali ini Ia menulis risalah bertajuk: Mencapai Indonesia Merdeka. Tulisan dibuat Sukarno di Bandung, pada Maret 1933.
Risalah dicetak dalam ribuan brosur dan disebarluaskan oleh berbagai jaringan, partai hingga masyarakat umum.
Pemerintah murka tersengat tulisan itu. Operasi pemberangusan dilancarkan besar-besaran. Dihimpun dari berbagai sumber sejarah, operasi dilakukan di berbagai wilayah.
Di Bandung, polisi menggeledah Kantor Partai Indonesia (Partindo) dan mendapatkan 3.000 brosur. Di Semarang, kantor Partindo digerebek. Polisi menyita brosur dan mencokok sejumlah kader.
Di Surabaya, polisi menyita 15 brosur dari toko bu Tarmi. Semula, toko ini mengorder 100 brosur. Namun, sebanyak 85 brosur sudah terjual sebelum polisi menyatroni toko.
Akibat tulisan itu, nama Sukarno menempati posisi teratas daftar buronan kelas kakap pemerintah.
Singkat cerita, Bung Karno disergap polisi usai rapat di rumah MH Thamrin, pada 1 Agustus 1933 malam. Untuk beberapa bulan, ia kembali meringkuk di Penjara Sukabumi.
Hingga pada akhir tahun 1933, Bung Karno dan keluarga dilayar ke tempat pengasingan, Kota Ende, Pulau Flores.
Berita terkait: Diasingkan di Ende, Bung Karno Tak Jera, Sempat-sempatnya Mengorganisir Rakyat
Mencapai Indonesia Merdeka.
Pantas saja pemerintah kebakaran jenggot. Tengok saja bagaimana Bung Karno mampu menarasikan kemerdekaan sebagai sesuatu yang rasional untuk digapai, bukan sebatas khayalan sebagaimana kesadaran umum saat itu.
Berita terkait: Bung Karno Renungkan Pancasila di Ende, Memidatokannya di Sidang BPUPKI
Riasalah diawali dengan menjelaskan akar masalah negeri ini. Lalu mengurai situasi regional dan global. Juga menjelaskan potensi yang ada.
Diuraikan pula langkah praktis untuk mencapai kemerdekaan beserta dinamika yang ada, hingga menarasikan Indonesia merdeka.
Risalah berisikan 10 bab seperti dilansir dari laman resmi situs Perpustakan Nasional Republik Indonesia sebagai berikut:
1. Sebab-sebabnya Indonesia tidak merdeka
2. Dari imperialisme tua ke Imperialisme modern
3. Indonesia tanah yang mulia, tanah kita yang kaya, disanalah kita berada untuk selama-lamanya
4. Di timur matahari mulai bercahaya, bangun dan berdiri kawan semua!
5. Gunanya ada partai
6. Indonesia merdeka suatu jembatan
7. Sana mau ke sana, sini mau ke sini
8. Machvorming, radikalisme, massa-aksi
9. Diseberangnya jembatan emas
10. Mencapai Indonesia Merdeka. (hs)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS