ADA dua kata kunci dalam judul tulisan ini. Kata adil dan kata perempuan. Ada apa dengan dua kata ini?
Sejauh ini, keadilan untuk perempuan terus menjadi perjuangan yang diniscayakan. Terutama yang dilakukan oleh para perempuan itu sendiri. Sebab, perempuan tak bisa menunggu pihak lain dalam memperjuangkan keadilan bagi dirinya. Harus tangannya sendiri yang berbuat sesuatu, mengambil alih hingga mengambil peran utama mengupayakan keberadilan.
Dalam banyak konteks problematika sosial, jika terjadi sesuatu yang tidak kaprah, menyalahi norma, perempuanlah yang paling sering disudutkan. Sekadar menyebut beberapa sampel, misalnya. Dalam konteks perselingkuhan yang dilakukan kaum laki-laki dan perempuan, perempuanlah yang paling sering diadili. Baik ia diselingkuhi atau diklaim sebagai pelakor. Kebersalahan perempuanlah yang paling ditonjolkan ke permukaan. Menjadi pembahasan dan gosip berkepanjangan lintas forum hingga sampai pada suatu sudut pandang yang menyudutkan.
Saat ini, ketika marak kasus kekerasan, pelecehan, dan pencabulan dengan korban perempuan dan anak, kaum perempuan juga yang disoroti dan dipersalahkan. Seolah kaum perempuan tak layak untuk dilindungi dan dibela. Seolah layak dianggap yang paling bersalah dan laki-laki tidak.
Adakah yang memikirkan psikis para korban yang notabene adalah perempuan? Saat ada seorang remaja perempuan yang MBA (married by accident), ia dianggap tidak dapat menjaga diri sebagai seorang gadis remaja. Pertanyaan ditujukan padanya, kok mau? Makanya jangan pacaran keterlaluan, kalau tak mau hamil di luar nikah. Dan seterusnya pertanyaan, klaim, dan serangan stigma yang menyudutkan, menvonis, dan mematikan rasa keadilan untuk perempuan di bawah umur yang menjadi korban.
Sesungguhnya, dalam konteks kekerasan dan pelecehan seksual terhadap kaum perempuan, usia belia atau dewasa, selalu saja ada otoritas relasi kuasa. Katakanlah misalnya, atasan pada bawahan, guru kepada murid, tokoh agama kepada santri, pejabat publik pada rakyat kecil, pacar laki-laki kepada pacar perempuan, hingga kakek/ orang tua/ paman/ kakak kepada cucu/ anak/ ponakan/ adik, dan seterusnya.
Korban berada dalam posisi dan nilai tawar lemah untuk menolak, menghindar, menjauhi kondisi di mana dirinya ditempatkan dalam keterjepitan relasi kuasa. Belum lagi ancaman, tekanan, dan intimidasi psikis yang ditumbuhkan kepada calon korban oleh pelaku dalam proses kekerasan dan pelecehan tersebut.
Bagaimana seharusnya memperlakukan korban yang –sekali lagi– adalah perempuan? Ketika korban mengalami rasa terpuruk karena ada risiko perkosaan dan kekerasan seksual berbuntut kehamilan, ia menghadapi masalah sosial yang berat.
Gadis muda hamil di luar nikah oleh pacar, oleh seseorang yang lebih berkuasa dari dirinya, ia mengalami kecemasan-kecemasan, rasa takut dan putus asa yang sekaligus berbaur dengan rasa bersalah atas kehidupannya sendiri. Apa yang akan terjadi nanti? Bagaimana ia akan melahirkan? Bagaimana menyembunyikan atau bahkan menghentikan kehamilan ini? Bagaimana menghadapi rasa malu dan takut yang luar biasa?
Sementara pelaku? Pada saat korban telah hamil, pelaku dengan ringan akan menyarankan pengguguran dengan alasan tidak siap menikah. Dalam banyak berita telah kita baca sebagian pelaku mencelakakan hingga membunuh korban yang telah dihamili. Sekali lagi, perempuan yang jadi korban ditempatkan dalam keterancaman hingga kehilangan nyawanya.
Jika pun ia melakukan aborsi dengan intimidasi dari pelaku, siapakah yang paling berisiko menghadapi kerusakan fisik dan psikis sekaligus? Masalah reproduksi dan traumatiknya? Perempuanlah yang menghadapinya. Sementara itu, di luar sana, masyarakat yang sebagian besar juga perempuan ikut menyudutkan dengan menyebut korban tak tahu menjaga kesucian dan kehormatannya.
Bagaimana hukum menangani hal ini? Jika kita iseng-iseng merekap jumlah kasus semacam ini, semakin lama bukannya semakin sedikit kuantitasnya. Justru semakin banyak. Terlalu sepelekah sanksi hukum bagi pelaku sehingga pelanggaran moral semacam ini terus berulang semakin meningkat?
Sebagian orang akan menjawab, “Ya, undang-undang terlalu sepele diberlakukan.” Pelaku pemerkosaan dan pelecehan seksual kepada perempuan dan anak, tidak ditindak sekeras seharusnya. Sekeras akibat yang ditimbulkannya pada korban. Sejauh ini, pelaku tidak dihukum setimpal dengan perbuatannya.
Idealnya, karena ini menyangkut ketenangan hidup manusia lain (baca: perempuan) yang menjadi korban, selayaknyalah pelaku dapat dihukum dengan berat. Ada banyak opsi yang dapat disesuaikan. Jika pelaku adalah pejabat publik, perangkat negara, ia bisa dipecat dari jabatannya sebagai sanksi hukumnya. Hal itu akan jadi shock teraphy bagi calon pelaku lain. Jika ia warga sipil biasa, ia bisa dimasukkan blacklist posisi apapun untuk jadi pejabat publik. Dan yang lebih tinggi lagi, para pelaku pemerkosaan dapat dikebiri (dimatikan kelelakiannya) agar ia tidak memiliki potensi untuk mengulangi perbuatan bejatnya.
Tawar menawar sanksi hukum yang terus digembar-gemborkan oleh kalangan tertentu, sebenarnya adalah pemberlakuan tidak adil kepada korban yang umumnya kaum perempuan. Dalam banyak konteks, perempuan tak begitu dibela dengan posisinya sebagai korban. Sementara di sisi lain ia memperoleh stigma dan labelisasi sebagai perempuan kotor, ternoda, najis, hingga hina dina.
Rasa keadilan yang sesungguhnya hanya akan muncul dari sebuah undang-undang yang diproyeksikan untuk diterapkan sebagai hukum. Karena itulah, pemangku kebijakan yang memiliki otoritas untuk hal ini sebisa mungkin dapat mengupayakannya melalui rancangan undang-undang yang berperspektif perempuan. Tanpa hal ini, tidak akan ada legitimasi sebuah ikhtiar untuk bersikap adil pada kaum perempuan. (*)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS