JAKARTA — Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Novita Hardini menilai pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI dalam rangka HUT ke-80 Republik Indonesia sebagai salah satu dokumen politik penting tahun ini.
Menurutnya, pidato presiden yang memadukan refleksi sejarah, capaian kinerja awal pemerintahan, dan arah kebijakan strategis tersebut patut diapresiasi.
Namun, apresiasi itu harus disertai catatan-catatan agar semangat dan substansi pidato benar-benar diwujudkan dalam langkah kebijakan yang nyata.
“Pidato Presiden bukan sekadar seremoni, tetapi kompas politik, ekonomi, dan sosial lima tahun ke depan. Kompas itu tidak akan berguna bila tidak ditempuh dengan langkah nyata,” kata Novita Hardini, di Gedung Nusantara II, Senayan, sebagaimana keterangan yang diterima media ini, Minggu (17/8/2025)
Setidaknya ada enam hal yang menjadi catatan penting legislator perempuan dari dapil 7 Jawa Timur itu. Pertama, Demokrasi dan Nomokrasi Harus Berjalan Seiring
Novita Hardini menekankan pentingnya menjaga demokrasi khas Indonesia yang berlandaskan gotong royong, persatuan, dan kekeluargaan. Namun, demokrasi harus berjalan beriringan dengan nomokrasi atau negara hukum.
“Demokrasi tanpa nomokrasi bisa jadi tirani mayoritas, sedangkan nomokrasi tanpa demokrasi berisiko otoritarianisme. Karena itu, penguatan kebebasan pers, transparansi anggaran, dan perlindungan hak-hak sipil harus konsisten dijaga,” tuturnya.
Kedua, soal Kedaulatan Ekonomi: Dari Retorika ke Aksi Nyata. Legislator yang saat ini duduk di Komisi 7 itu mengapresiasi komitmen Presiden Prabowo untuk kembali pada amanat Pasal 33 UUD 1945, termasuk langkah menindak praktik serakahnomics dan pengaturan industri pangan strategis.
Namun, dia mengingatkan bahwa kedaulatan ekonomi harus dirasakan hingga ke pelosok desa-desa di tanah air.
“Pertumbuhan ekonomi harus diterjemahkan menjadi pemerataan. Jangan sampai kebijakan hanya menguntungkan kelompok konglomerasi, sementara misalnya para pelaku UMKM yang menjadi ujung tombak pendapatan negara justru semakin tersingkir dengan berbagai kebijakan yang justru mempersulit serta melemahkan para pelaku UMKM, termasuk industri kreatif,” jelas Novita.
Catatan ketiga, yakni Tambang Ilegal: Jangan Berhenti di Atas Kertas
Terkait langkah Presiden menertibkan sawit ilegal dan tambang bermasalah, Novita mendesak adanya langkah nyata pembuktian di lapangan.
“Penegakan hukum jangan berhenti pada wacana. Tambang ilegal bukan hanya merugikan negara, tetapi juga menghancurkan lingkungan, pariwisata, kehidupan serta ekonomi masyarakat lokal,” katanya.
Keempat, soal Efisiensi Berkeadilan. Novita Hardini menilai langkah pemerintah menyelamatkan Rp300 triliun APBN dari potensi penyelewengan sebagai capaian positif.
Namun, dia mengingatkan prinsip keadilan harus ditempatkan di atas efisiensi. Misalnya efisiensi anggaran yang mematikan UMKM melalui Inpres 1/2025 memotong anggaran operasional pemerintah hingga 90%, berimbas pada UMKM penyedia ATK dan percetakan.
“Efisiensi tanpa keadilan akan melahirkan ketimpangan baru. Tapi jika keadilan dijalankan dengan efisiensi, manfaatnya akan merata bagi rakyat,” sebut Novita.
Catatan kelima, yakni Pendidikan dan SDM: Kunci Bangsa Maju. Dia menyambut baik program makan bergizi gratis (MBG), sekolah rakyat, dan peningkatan kesejahteraan guru. Namun, ia menekankan pembangunan SDM unggul tidak cukup hanya dengan infrastruktur.
“Kita butuh pendidikan karakter berbasis Pancasila, gotong royong, literasi digital, dan keterampilan abad ke-21. Anak-anak Indonesia harus tumbuh sebagai warga negara kritis, kreatif, dan bertanggung jawab,” jelasnya.
Ke enam: Dari Janji ke Aksi Nyata. Novita Hardini menegaskan bahwa rakyat kini semakin kritis dan siap mengoreksi kebijakan pemerintah.
“Pidato Presiden harus dikawal agar tidak berhenti sebagai janji. Rakyat mendukung setiap kebijakan yang berpihak pada mereka, tetapi juga siap menolak bila tidak adil. Inilah wajah baru demokrasi Indonesia,” tutupnya. (nia/pr)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS